SINAR – Kemunculan dan perkembangan teologis kritis di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal, yaitu berkembangnya hegemoni dan dominasi dalam kehidupan masyarakat, terjadinya diskriminasi terhadap kalangan minoritas, berkembangnya model-model keberagaman yang menonjolkan kesalehan-kesalehan individual dan simbolis, berkembangnya modernitas di dunia ketiga (dunia berkembang) termasuk Indonesia, dan berkembangnya paradigma developmentalisme (paham pembangunan) di negara-negara berkembang.
Konstruksi paradigmatik dari pemikiran Islam kritis diwujudkan dalam model Islam pembebasan Abdurrahman Wahid, Islam Transformatif Moselim Abdurrahman dan teologi kaum tertindas Mansour Fakih dengan kerangka ontologism dan epistemologi-nya masing-masing.
Dampak dari adanya pemikiran Islam kritis tentu sangat dirasakan oleh umat. Pemikiran Islam kritis menginspirasi semua pihak untuk ikut memperjuangkan HAM, demokratisasi, kebebasan beragama, kesetaraan gender, dan perhatian terhadap kelompok-kelompok marginal. Pemikiran Islam kritis juga menginspirasi umat untuk mengembangkan pola-pola kepedulian sosial, pendampingan dan pemberdayaan masyarakat, baik oleh kelompok masyarakat yang tergabung dalam LSM, institusi keagamaan maupun institusi-institusi Negara.
Demikian kesimpulan disertasi Ketua Lembaga Penjaminan Mutu (LPM), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta dalam ujian promosi Doktor Ilmu Agama Islam, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Juma’at (17/4). Di hadapan promotor dan tim penguji, promovendus Zainul Abas, M. Ag berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan baik sekaligus mampu mempertahankan disertasi yang diajukannya. Dan hasilnya, promovendus dinyatakan LULUS dengan predikat SANGAT MEMUASKAN dengan IPK rata-rata 3,55 lama studi 8 tahun, sehingga berhak menyandang gelar Dr. Zainul Abas, M. Ag. (Mahendra)