PENGANUGERAHAN GELAR DOKTOR KEHORMATAN : PROBLEM DAN PROSPEK

Oleh: Dr. H. Muhammad Munadi, M.Pd (Wakil Rektor II Bidang Administrasi Umum Perencanaan dan Keuangan)

Pengantar

Hadir dalam penganugerahan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) merupakan pengalaman pertama yang sangat menarik untuk dipaparkan. Menariknya bahwa UIN Walisongo dalam memberikan gelar tersebut nyaris tidak bersinggungan dengan nuansa politis walaupun berada saat kampanye pemilihan calon legislatif serta pemilihan calon presiden dan wakil presiden. Gelar diberikan kepada seseorang yang sangat berjasa berkaitan dengan kesetaraan gender kepada seorang Kyai penggerak wacana dan praktisi dalam bidang tafsir gender, yaitu: KH. Husein Muhammad. Kyai ini tinggal dan pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Cirebon. Pemberian gelar sangat dominan nuansa akademisnya disbanding nuansa lainnya, baik ditilik dari penerima maupun bidang kajian doktornya. Disamping itu pemberian gelar doktor kehormatan ini bisa dibilang unik karena biasanya perguruan tinggi memberikan gelar kehormatan ada sedikit agenda-agenda dalam repositioning perguruan tinggi dalam pergumulan politik kenegaraan dan kebangsaan. Seperti pemberian gelar doctor kehormatan kepada Presiden, Wakil Presiden, Menteri, gubernur dan pejabat publik lainnya. Pemberian gelar doctor honoris yang semacam itu biasanya menimbulkan kontroversi di dalam maupun di luar perguruan tinggi. Menurut catatan Wikipedia, Salah satu perguruan tinggi tertua di Indonesia sudah memberikan gelar doktor kehormatan sebanyak 40 orang sejak 1955 ada 10 orag jika diidentifikasi sebagai  pejabat dalam konteks keilmuan, pejabat pbulik atau mantan pejabat publik. Perguruan tinggi di Amerika Serikat  sejak tahun 1692 sudah memberika gelar kehormatan sebanyak 2300 orang.

Gelar Doktor Kehormatan Beberapa Perspektif  

Pemberian gelar dengan dikaitkan dengan apapun tidak ada masalah tetapi dalam tataran kebijakan di Indonesia yang diatur dalam dua kebijakan yaitu: Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Pemberian Gelar Doktor Kehormatan dan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2016 Tentang Gelar Doktor Kehormatan.

Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Pemberian Gelar Doktor Kehormatan Pasal 1 ayat 2 Gelar menyebutkan bahwa Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) adalah gelar kehormatan yang diberikan oleh suatu Perguruan Tinggi kepada seseorang yang dianggap telah berjasa dan atau berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sosial, budaya, dan/atau berjasa dalam bidang kemanusiaan dan/atau kemasyarakatan. Titik tekan definisinya pada orang yang  berjasa dan atau berkarya luar biasa berjasa dan atau berkarya luar biasa diberikan gelar kehormatan.

Pengertian ini tidak berbeda yang dibuat Stockholm University memberikan pengertian The awarding of an honorary doctorate is an expression of the University’s appreciation of outstanding contributions in one or more of the University’s areas of academic activity. Ungkapan penghargaan Universitas atas kontribusi luar biasa dalam satu atau lebih bidang kegiatan akademik Universitas. Kedua pengertian tersebut mendudukkan perkaranya pada penghargaan. Pengertian lebih  spesifik dinyatakan Uppsala University bahwa The title of honorary doctor, doctor honoris causa, is conferred upon academics, primarily from abroad, who have established ties with Swedish academic researchers or other individuals who have not taken a doctorate through academic studies but should clearly be inducted into the research community. Pemberian gelar doktor kehormatan diberikan terutama kepada akademisi luar negeri  yang telah menjalin hubungan dengan peneliti akademik Swedia atau individu lain yang belum mengambil gelar doktor melalui studi akademik tetapi harus secara jelas dilantik ke dalam komunitas penelitian. Pengertian ini pada konteks negara Swedia adalah:

  1. Lebih menekankan pada orang asing
  2. Memiliki hubungan kerjasama peneliti
  3. Belum mengambil gelar doctor. Bisa dimaknai sudah lulus minimal sarjana
  4. Dilantik dalam komunitas penelitian  

Pengertian yang lebih spesifik dan berat dinyatakan Vancouver Island University (VIU) bahwa The awarding of honorary doctorates is intended to encourage a standard of excellence and innovation which is exemplary to students, faculty and staff, and to society generally. Pemberian gelar kehormatan dalam rangka mendorong standar keunggulan dan inovasi bagi mahasiswa, staf pengajar dan staf, serta untuk masyarakat pada umumnya.

Persyaratan Perguruan Tinggi

Perguruan Tinggi yang menganugerahkan gelar kehormatan diatur Peraturan Menteri Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2016 Tentang Gelar Doktor Kehormatan Pasal 1 yang menyebutkan Gelar doktor kehormatan (Doctor Honoris Causa) merupakan gelar kehormatan yang diberikan oleh perguruan tinggi yang memiliki program Doktor dengan peringkat terakreditasi A atau unggul kepada perseorangan. Perguruan tinggi harus menyelenggarakan program doktor yang terkait dengan jasa dan/atau karya calon penerima gelar doktor kehormatan. Dua syarat ini cukup berat bagi perguruan tinggi karena untuk mencapai akreditasi A saat ini sangat berat baik ketika memakai 7 standar apalagi 9 standar.

Uppsala University dalam memberikan gelar doctor kehormatan sesuai fakultas yang dimiliki, maka ragamnya sangat tinggi berikut ini:

  1. Honorary Doctors of the Faculty of Theology
  2. Honorary Doctors of the Faculty of Law
  3. Honorary Doctors of the Faculty of Medicine
  4. Honorary Doctors of the Faculty of Pharmacy
  5. Honorary Doctors of the Faculty of Philosophy
  6. Honorary Doctors of the Faculty of Humanities
  7. Honorary Doctors of the Faculty of Arts
  8. Honorary Doctors of the Faculty of Languages
  9. Honorary Doctors of the Faculty of Social Sciences
  10. Honorary Doctors of the Faculty of Educational Sciences
  11. Honorary Doctors of the Faculty of Mathematics and Science
  12. Honorary Doctors of the Faculty of Science and Technology

Keragaman keilmuan yang diberikan sangat spesifik sesuai fakultas yang dimiliki. Yang agak luas dan longgar dibuat oleh Vancouver Island University (VIU) gambarannya sebagai berikut:

  1. Honorary Doctor of Laws for accomplishments and contributions in areas such as politics, justice and social activism;
  2. Honorary Doctor of Letters for scholarly accomplishments and contributions in areas such as science, social science, theory and literature; and
  3. Honorary Doctor of Technology for accomplishments and contributions in applied areas related to Science and Technology.
  4. Honorary Doctor of Science for accomplishments and contributions in Science.

Dua perguruan tinggi di atas bisa dirujuk oleh perguruan tinggi di Indonesia dalam memberikan gelar doktor kehormatan, mau memakai model Uppsala University atau Vancouver Island University.

Persyaratan Kandidat Penerima Gelar

Kandidat penerima gelar doctor kehormatan di Vancouver Island University (VIU) mensyaratkan a record of outstanding distinction and achievement in an area related to Vancouver Island University’s mission.  Kandidat memiliki catatan perbedaan luar biasa dan prestasi di bidang yang terkait dengan misi Vancouver Island University. Syarat yang lebih berat ada di ketentuan Ottawa University. Penerima gelar doctor kehormatan  haruslah memiliki kontribusi besar kepada perguruan tinggi siapapun termasuk masyarakat luas.  Namun penerima harus memiliki kepantasan yang diakui karena kemampuannya yang tidak tertandingi karena pembelajaran dan pengalaman hidupnya. Hal ini tidak berbeda dengan kebijakan yang ada di Indonesia. Persyaratan penerima gelar kehormatan di Indoensia dinyatakan dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2016 Tentang Gelar Doktor Kehormatan mengatur orang Indonesia dan asing bisa mendapatkan gelar. Persyaratan yang spesifik untuk orang Indonesia dipersyaratkan perseorangan yang memiliki jasa-jasa yang luar biasa dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan/atau berjasa dalam bidang kemanusiaan. Perguruan tinggi harus menyelenggarakan program doktor yang terkait dengan jasa dan/atau karya calon penerima gelar doktor kehormatanasing dinyatakan pada Pasal 2 ayat 2 yang menyatakan Calon penerima gelar doktor kehormatan berkewarganegaraan asing telah menunjukkan jasa dan/atau karya yang bermanfaat bagi kemajuan, kemakmuran, dan/atau kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia.

Problem dan Prospek

Pemberian gelar doktor honoris causa bisa dipahami pemberiannya memiliki problem dan prospek. Sisi Problem bisa dinyatakan dari sisi pemberi dalam hal ini perguruan tinggi menyelenggarakan program doktor yang terkait dengan jasa dan/atau karya calon penerima gelar doktor kehormatan serta memiliki program Doktor yang terakreditasi A. Dua syarat ini sudah sangat berat.

Sisi penerima harus perlu diingat bahwa harus ada ukuran yang valid dan reliable. Indikator seseorang yang memiliki jasa-jasa yang luar biasa dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan/atau berjasa dalam bidang kemanusiaan, seseorang memiliki kontribusi besar kepada perguruan tinggi, kepantasan yang diakui karena kemampuannya yang tidak tertandingi karena pembelajaran dan pengalaman hidup, individu yang bisa menunjukkan jasa dan/atau karya yang bermanfaat bagi kemajuan, kemakmuran, dan/atau kesejahteraan bangsa dan negara harus semua orang faham. Pengukurannya harus menghindari subyektifitas pada calon penerima. Ukuran harus dibuat secara ketat oleh perguruan tinggi yang akan memberikan gelar.

Sisi Prospek, Perguruan tinggi bisa mengembangkan jejaring yang lebih luas dalam kerangka pengembangan mutu akademik. Artinya perguruan tinggi memiliki sumber daya dosen yang memiliki pengetahuan dan pengalaman empiris dalam mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni. Hal ini bisa menjadikan mengurangi jarak antara teori dan empiris ilmu yang diajarkan oleh perguruan tinggi. Selain itu pengembangan jejaring pada sektor sumber-sumber pendapatan perguruan tinggi, serta sumber-sumber pengembangan sarana dan prasarana. Problem dan prospek ini harus benar-benar dicermati oleh perguruan tinggi dalam memberikan glear kehormatan.

Daftar Pustaka

https://www.uu.se/en/about-uu/traditions/prizes/honorary-doctorates/

https://www.viu.ca/honorarycredentials/PartI-HonoraryDoctorates.asp

https://www.uottawa.ca/president/honorary-doctorates

https://www.su.se/english/about/ceremonies/what-is-an-honorary-doctorate-1.21550

https://www.uottawa.ca/president/honorary-doctorates

Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Pemberian Gelar Doktor Kehormatan

Peraturan Menteri Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2016 Tentang Gelar Doktor Kehormatan

https://id.wikipedia.org/wiki/Penerima_Gelar_Doktor_Honoris_Causa_Universitas_Indonesia

https://www.harvard.edu/on-campus/commencement/honorary-degrees

KERAGAMAN BUDAYA HARUS MEMBUAT KITA LEBIH ARIF

Seminar Nasional dan Peresmian Gedung SBSN – Menag Lukman Hakim Saifuddin

Oleh: Dr. H. Mudofir, S.Ag., M.Pd (Rektor IAIN Surakarta)

Peresmian gedung SBSN dan Seminar Nasional dengan tema “Islam dan Budaya sebagai Instrumen Integrasi Bangsa” oleh Menteri Agama di IAIN Surakarta Senin, 4 Maret 2019 dikemas dengan pola talkshow. Pola ini sangat efektif bagi Menteri Agama untuk menyampaikan pesan-pesannya. Terjadi interaksi antara Menteri dengan moderator dan sebagian audien.

Dengan background mozaik keraton Jawa dan gerobak angkring yang penuh dengan jajanan ala hik (nasi kucing, gorengan, wedang jahe, dll), perbincangan Islam dan budaya menjadi lebih hidup. Menteri Agama menyampaikan pandangan-pandangannya dengan sangat cair dan mengalir deras bak hujan mutiara hikmah. Di gerobak angkringan ada seorang penjual dengan memakai baju batik lurik dan blankon–yang diperankan pegawai kecil yang sangat ingin bertemu dan berfoto dengan Menteri Agama. Latar panggung tersebut sengaja dikemas untuk menggambarkan kedekatan pejabat negara dengan rakyat jelata secara tidak berjarak. Dan memang benar, Menteri Agama duduk seperti sedekat dua ujung jari dengan “penjual angkringan” tadi.

Dalam talkshow, Menteri menyampaikan banyak hal seputar Islam dan budaya. Beliau memulai dengan pertanyaan kepada audien manakah yang lebih dulu ada antara Islam dan budaya? Islam dulu atau budaya dulu? Menurut Menteri, semua wahyu agama pastilah turun kepada sebuah komunitas. Dan komunitas pastilah memiliki struktur budaya dengan seluruh gugusan nilai-nilai. Dengan jawaban ini, Menteri ingin menjelaskan bahwa ketika agama turun tidak serta-merta menghilangkan budaya-budaya yang sudah ada. Ada nilai-nilai universal di budaya dan di agama yang saling mengambil dan memberi (take and give).

Itulah sebabnya, kata Menteri Agama, keragaman budaya semestinya harus membuat kita lebih arif dan punya kemampuan untuk saling menghargai. Demikian pula dalam agama, ada keragaman pemahaman yang memproduksi keragaman implementasi. Sejauh itu tidak esensial, maka keragaman itu ditoleransi sebagai kekayaan budaya yang berguna bagi serbuk persatuan bangsa.

Menteri memberi contoh tentang praksis Islam yang berbeda-beda di antara sejumlah negara. Islam praksis di Arab, misalnya, sangat berbeda dengan Islam di Nusantara seperti dalam soal penghargaan kepada kaum perempuan. Di Arab, perempuan dihargai bukan dengan bekerja di luar rumah, tapi di dalam rumah. Tapi di Indonesia, perempuan bekerja dengan jam lebih panjang di semua bidang. Struktur budaya menentukan jenis Islam praksis di antara bangsa-bangsa Muslim yang beragam.

Pendapat Menag ini mirip dengan Menteri Agama era Soeharto Munawir Sadzali soal perempuan Jawa yang semestinya menerima warisan lebih besar dibanding laki-laki karena budaya kerja yang berbeda. Munawir Sadzali dulu menyatakan faraidh tidak terpenuhi syarat pelaksanaannya bagi perempuan dengan struktur budaya semacam ini.

Tentu saja, banyak contoh lain yang telah dikemukakan Menteri. Poin dari pikiran ini adalah moderasi Islam berangkat dari moderasi budaya. Makin arif secara budaya, maka akan memproduksi kearifan secara agama. Dan pandangan ini pada ujungnya akan mendorong peran agama (baca: Islam) dan budaya sebagai instrumen integrasi bangsa. Semua PTKIN sudah seharusnya menjadikan budaya dan Islam sebagai titik tolak upaya-upaya kemenag mempromosikan Islam moderat ke dalam masyarakat luas. (Mudofir Abdullah, Surakarta 4 Maret 2019).

PROGRAM STUDI KE-ISLAM-AN DI PERGURUAN TINGGI UMUM DAN PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM : SEBUAH TELAAH

Oleh: Dr. H. Muhammad Munadi, M.Pd
(Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan)

Ketika membuka beberapa website perguruan tinggi di bawah Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) ada banyak pertanyaan muncul sebenarnya, diantaranya bagaimana arah pengembangan keilmuan perguruan tinggi di Indonesia? Semua perguruan tinggi walau beda pembinanya (Kemenristekdikti, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, maupun Lembaga/Kementerian lain) mengadakan (atau lebih tepatnya) membuka program studi yang hampir sama dan mirip bahkan kembar identik.  Munadi (2018) memberikan gambaran data perguruan tinggi sesuai penyelenggaranya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Jumlah Perguruan Tinggi di Indonesia

No Kementerian/Lembaga Negeri Swasta
1 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 0 0
2 Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi 123 3205
3 Kementerian Agama 98 1081
4 Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika 1 0
5 Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 1 0
6 Badan Tenaga Nuklir Nasional 1 0
7 Badan Pusat Statistik 1 0
8 Kementerian Dalam Negeri 65 0
9 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2 0
10 Kementerian Hukum dan HAM 2 0
11 Kementerian Informasi dan Komunikasi 1 0
12 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 7 0
13 Kementerian Kelautan dan Perikanan 7 0
14 Kementerian Kesehatan 38 0
15 Kementerian Keuangan 1 0
16 Kementerian Perhubungan 13 0
17 Kementerian Perindustrian 18 0
18 Kementerian Pertanian 12 0
19 Kementerian Sosial 1 0
20 Lembaga Sandi Negara RI 1 0
21 Kementerian Pertahanan 8 0
22 Kepolisian 2 0
23 Lembaga Administrasi Negara 3 0
24 Kementerian Perdagangan 1 0
25 Badan Intelijen Negara 1 0
Jumlah 408 4286

 (Sumber Data dari Forlapdikti dengan modifikasi)

Tabel tersebut menunjukkan bahwa jumlah perguruan tinggi sangat banyak baik negeri maupun swasta  apalagi dilihat dari jenis program studinya.

Jika dilihat dari program studi di 2 Kementerian yaitu Kemenag dan Kemenristekdikti akan relatif terlihat kesamaannya dari sisi nama dan semestinya keilmuannya. Tabel yang bisa dibuat sebagai berikut:  

Tabel 2. Kesamaan Program Studi Diploma dan Sarjana Berkait Kajian Islam

 No Prodi Kemenristekdikti Prodi Kemenag
1. S-1 Sastra Arab S-1 Bahasa dan Sastra Arab
2. S-1 Pendidikan Bahasa Arab S-1 Pendidikan Bahasa Arab
3. S-1 Ilmu Pendidikan Agama Islam S-1 Pendidikan Agama Islam
4. S-1 Pendidikan Keagamaan Islam S-1 Pendidikan Agama Islam
5. S-1 Ilmu Agama Islam
6. S-1 Ilmu Ekonomi Islam S-1 Eknomi Syariah
7. D-IV Perbankan Syariah S-1 Perbankan Syariah
8. D-IV Akuntansi Keuangan Syariah S-1 Akuntansi Syariah
9. D-IV Keuangan Syariah
10. D-III Perbankan Syariah
11. S-1 Keuangan Perbankan Syariah
12. S-1 Manajemen Keuangan dan Perbankan Syariah S-1 Manajemen Keuangan Syariah

Program Diploma sampai Sarjana yang berkaitan dengan kajian Ke-Islam-an terlihat sama secara nomenklatur. Ada yang dimiliki PT di bawah Kemenag dan tidak dimiliki oleh PT di bawah Kemenrsitekdikti ataupun sebaliknya. Kesamaan ini ternyata baru sebatas nama tetapi belum berimplikasi pada kesamaan kurikulum. Di titik tertentu menurut penelitian Munadi (2017) kurikulum pada PTN di bawah Kemenristekdikti ada keunggulan disbanding PTKI. Hal ini juga terjadi pada Program Magister dan Doktor, berikut gambarannya:

Tabel 3. Kesamaan Program Studi Magister dan Doktor Berkait Kajian Islam

 No Prodi Kemenristekdikti Prodi Kemenag
1. S-2 Sains Ekonomi Islam S-2 Eknomi Syariah
2. S-2 Keuangan dan Perbankan Syariah S-2 Perbankan Syariah
3. S-3 Keuangan dan Perbankan Syariah  
4. S3 Agama dan Lintas Budaya,  Minat Studi Ekonomi Islam dan Industri Halal S-3 Dirasah Islamiyah Konsentrasi Ekonomi Islam

Sama dan sebangun keilmuan berkait dengan kajian ke-Islam-an baik di jenjang Diploma sampai dengan Doktor. Ada hal yang menggelitik dengan kesamaan ini dari sisi pengembangan ilmu secara normatif termasuk dari sisi ijin secara administratif.

Sisi pengembangan ilmu ini akan menambah penguatan semua PT yang memiliki kedekatan keilmuan sehingga bisa mempercepat tumbuhnya Islam sebagai bahan kajian normatif maupun dalam dataran empiris-praksis. Kajian normatif dalam bentuk gagasan, maupun penelitian normative semakin menambah perspektif. Begitupula kajian empiris  praksis dari  hasil pembelajaran/Pendidikan, penelitian maupun pengabdian kepada masyarakat akan bisa mendekatkan dengan sisi kajian normative.

Justru yang akan menjadi “ramai” dari sisi adminsitratif yaitu berkaitan dengan ijin pendirian program studi baru.   Jika ditelaah dari perijinan awalnya kalau Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) bisa dimaklumi sesuai dengan Permenristekdikti No.15 Tahun 2017 tentang Penamaan Program Studi pada Perguruan Tinggi Pasal 8 menyebutkan, “Penambahan dan/atau perubahan nama program studi pada perguruan tinggi negeri badan hukum dilaporkan kepada Menteri”. Ini berarti PT yang bersatatus PTN BH bisa menambah program studi kapanpun sesuai kemampuan lembaga yang penting dilaporkan kepada Menteri. Fleksibilitas ini bisa saja berakibat semua program studi yang ada di PT di bawah Kemenag terutama yang “laku” bisa dibuka di PTN BH.  Resikonya PT di bawah Kemenag akan terpacu untuk peningkatan mutunya dan bisa segera berevolusi menjadi PTN BH minimal PTN Badan Layanan Umum (BLU). Namun apakah PT hanya sekedar merespon pasar tanpa pernah berfikir lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan pasar yaitu sisi kemanusiaan.  Ini pertanyaan besar agar apapun yang dihasilkan oleh PT tidak hanya sebatas menara gading atau ivory tower. Menara gading menurut Care dan Kim (2018) merujuk ….to concerns disconnected from everyday life and the fact that many universities focus on publishing scholarly and incomprehensible academic articles that will be read only by a select few. Julukan “menara gading”, digunakan untuk merujuk pada Perguruan Tinggi (PT) sering terputus dari kehidupan sehari-hari masyarakatnya karena banyak PT hanya berfokus pada penerbitan artikel kesarjanaan yang akademis dan tidak dapat dipahami serta hanya akan dibaca oleh segelintir orang terpilih. Sementara perguruan tinggi memiliki empat tujuan utama dan mendasar seperti yang diidentifikasi Dewan Eropa tentang tanggung jawab publik atas pendidikan dan penelitian tinggi:

  1. Persiapan untuk pasar tenaga kerja;
  2. Persiapan untuk hidup sebagai warga negara yang aktif dalam masyarakat demokratis;
  3. Pengembangan pribadi;
  4. Pengembangan dan pemeliharaan basis pengetahuan yang luas dan maju (CDESR, 2007:6)

Kedua pendapat di atas menunjukkan bahwa PT harus lebih berfokus pada poin 2 – 4 tanpa melupakan poin pertama. Merujuk pada pernyataan di atas juga, siapapun yang memberikan ijin pembukaan prodi baru sebenarnya tidak ada masalah – mau Kemenristekdikti saja, Kemenristekdikti dengan rekomendasi Kementerian terkait ataupun Kementerian terkait saja tidak ada masalah dan harus ada keseragaman. Yang terpenting  bahwa prodi baru tersebut bisa menyelesaikan permasalahan berbangsa dan bernegara.  

PT di bawah Kemenristekdikti tertutama yang berstatus PTN BLU dan PTN satker PNBP dalam membuka program studi baru berkaitan dengan kajian Ke-Islam-an ternyata tidak mesti harus mendapatkan ijin dari Kemenag tetapi cukup ijin dari Kemenrsitekdikti. Atau minimal diberi ijin dari kedua kementerian. Atau setidaknya ada rekomendasi dari Kemenag walaupun kemudian yang mengeluarkan ijin adalah Kemenristekdikti. Seperti yang terjadi dalam pendirian Program Diploma IV Program Studi Keuangan dan Perbankan Syariah mendasarkan pada surat ijin Dikti. Inipun bisa dimaklumi kalau bicaranya pada sisi Pendidikan vokasi diperkenankan ijin hanya dari Kemenristekdikti. Akan berbeda ketika pembukaan prodi baru berkait dengan Pendidikan Islam semestinya ijin yang mengeluarkan Kemenag bukan Kemenrsitekdikti. Tetapi yang terjadi ijin pembukaan prodi baru justru yang mengeluarkan Kemeristekdikti.

Fakta empiris ini memang bisa dianggap sebagai sebuah bentuk diskriminasi bagi PTKI baik Negeri maupun Swasta. Ketika PTKI mau mendirikan program studi baru non kajian ke-Islam-an harus mendapatkan dari Kemenrsitekdkti. Sementara ketika PTN di bawah Kemenristekdikti membuka prodi baru berkait kajian ke-Islam-an tidak perlu ijin dari Kemang. Disinilah mutlak pentingnya segera disyahkannya Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Tinggi Keagamaan sebagai tindaklanjut dari pasal 30 UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Semoga.    

Daftar Pustaka

Care, Esther and Kim, Helyn. (2018). From ivory towers to the classroom: How can we make academic research useful in the real world?. January 30, 2018. https://www.brookings.edu/blog/education-plus-development/2018/01/30/from-ivory-towers-to-the-classroom-how-can-we-make-academic-research-useful-in-the-real-world/

CDESR. (2007). The University Between Humanism And Market. https://rm.coe.int/the-university-between-humanism-and-market-steering-committee-for-high/1680779c78

Munadi, Muhammad. (2018). Produktivitas Publikasi Ilmiah : Ikhtiar Mengurai Problem. 25 Oktober 2018. http://www.iain-surakarta.ac.id/?p=14839

Munadi, Muhammad. (2017). Pendidikan Guru Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum Negeri (Studi Komparatif Antara Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dengan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung). Jurnal Cendekia Volume 15 No. 1 Tahun 2017. http://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/cendekia/article/view/446

HILIRISASI HASIL PENELITIAN : SEBUAH CATATAN

Oleh: Dr. H. Muhammad Munadi, M.Pd
(Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan IAIN Surakarta)

Saat berkunjung ke salah satu lembaga milik perguruan tinggi tertua di Indonesia ada pernyataan menarik bahwa selama ini Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) arahnya sangat tergantung dengan top leader-nya. Kalau top leader-nya “lebih senang” dan “lebih perhatian” dengan penelitian maka selama menjabat fokusnya pada penelitian. Akan berbeda ketika top leader-nya “lebih senang” dan “lebih perhatian” dengan pengabdian maka selama menjabat fokusnya pada pengabdian. Akhirnya ada yang di-“anak emas”- kan dan ada di- “anak tiri”- kan.  Hal yang harus muncul adalah mindset bahwa kegiatan ini saling memperkuat, saling mendukung dan keduanya sama penting seperti dua sisi mata uang. Penelitian tanpa pengabdian lemah begitu pula pengabdian tanpa penelitian juga lemah. Dua  kegiatan ini saling berkait dan tidak bisa dipisahkan antar keduanya. Hulunya bisa penelitian tetapi hilirnya pengabdian ataupun sebaliknya. Jika ini berlangsung dan berjalan dana penelitian/pengabdian yang besar akan berdampak pada masyarakat – skala mikro, messo maupun makro.

PENELITIAN : PERSPEKTIF HULU DAN HILIR

Perbincangan yang semakin serius tentang hilirisasi hasil penelitian sebenarnya merupakan bentuk kekhawatiran dari semua pihak tentang dana penelitian yang besar bisa berdampak pada sektor (pemerintah, industry dan masyarakat) di luar Lembaga penelitian ataupun perguruan tinggi. Secara ekstrim dalam Bahasa Agama menghindari hasil penelitian yang mubadzir. Untuk kepentingan tersebut Kementerian yang membidangi penelitian mengeluarkan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 42 tahun 2016 Tentang Pengukuran dan Penetapan Tingkat Kesiapterapan Teknologi. Kebijakan ini membuat definisi tentang Tingkat Kesiapterapan Teknologi (Technology Readiness Level=TRL) yang selanjutnya disingkat dengan TKT adalah tingkat kondisi kematangan atau kesiapterapan suatu hasil penelitian dan pengembangan teknologi tertentu yang diukur secara sistematis dengan tujuan untuk dapat diadopsi oleh pengguna, baik oleh pemerintah, industri maupun masyarakat. Pengertian ini sebenarnya mengandung dua sisi sekaligus yaitu kesiapterapan teknologi dan kesiapterapan pada pasar (market) atau lebih populer disebut market readiness level. Market Readiness’ as being ready to go to market with useful, useable and used outputs (Cloudwatch, 2017).  Pengertian ini menunjukkan tiga hal bahwa penelitian itu harus useful, useable, dan used outputs bagi pasar manapun – baik dunia usaha, dunia industry, dunia bisnis, pemerintahan, maupun masyarakat.

TKT (TRL) ada 9 jenjang dimulai dari jenjang 1 menurut kebijakan Kemenristekdikti maupun Masyarakat Eropa. Akan tetapi berbeda dengan penjenjangan yang dibuat Cloudwatch (2017) yang dimulai pada jenjang 0 walaupun tetap sampai dengan jenjang 9. Gambarannya sebagai berikut:


Gambar 1. Mengukur TKT

Perbedaan antara penjenjangan yang dibuat oleh kebijakan Kemenristekdikti maupun Masyarakat Eropa dengan yang dibuat Cloudwatch seperti gambar di atas bahwa ada jenjang 0 (jenjang terendah). Jenjang ini  menunjukkan bahwa hasil penelitian masih bersifat konsep yang belum (tidak) terbukti atau belum ada pengujian yang dilakukan. Posisinya masih bersifat gagasan (idea) yang tidak berbeda dengan penelitian dasar (basic research), formulasi teknologi (technology formulation) serta validasi kebutuhan (needs validation).  Hasil akhir dari penelitian pada jenjang 9 adalah penerapan hasil penelitian secara komersial penuh. Posisi ini disebut sebagai produksi.

Penjenjangan di atas hasil penelitiannya lebih identik dengan keilmuan MIPA (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (Fisika, Kimia, Biologi) serta Teknologi. Bagaimana dengan keilmuan Sosial dan Humaniora termasuk Islamic studies? Ini yang perlu dijawab oleh para pelaku di PTKI baik negeri maupun swasta. Penjenjangan dan tahapan TKT dalam Ilmu Sosial Humaniora menurut Adhi Indra Hermanu (2017) dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel 1. Tahapan Tingkat Kesiapterapan Teknologi Pada Ilmu Sosial Humaniora

Gambaran di atas bahwa riset/inovasi (RI) pada keilmuan sosial humaniora termasuk studi Islam bisa berupa prototipe, regulasi, kebijakan, keputusan, sistem, dan produk lainnya yang memungkinkan. Untuk bisa diterapkan perlu ada kolaborasi antara sisi academia sebagai pengembang pengetahuan (ilmu) dengan masyarakat sebagai pemakai maupun pengguna hasil penelitian. Pemakaian hasil penelitian bisa berwujud pengabdian kepada masyarakat maupun Pendidikan/pengajaran. Menyambungnya antara penelitian, pendidikan/pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam pernah dipesankan oleh Menteri Agama Maftukh Basuni (2009) dengan pernyataan berikut, “Perguruan tinggi harus hadir di tengah masyarakat untuk memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapi, bukan menambah deretan masalah yang sudah membebani masyarakat.”Kesan perguruan tinggi sebagai menara gading harus dihilangkan.”  PTKI harus memberikan solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat melalui pengajaran/pendidikan, penelitian serta pengabdian kepada masyarakat secara terpadu dan terencana. Indikator bahwa hasil penelitian sosial dan humaniora termanfaatkan dapat dipaparkan sebagai berikut:

Tabel 2. Definisi dan Indikator TKT Bidang Sosial Humaniora


        (Direktorat Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 2017:577)

Gambar di atas menunjukkan bahwa TKT bidang sosial humaniora harus ada minimal tiga hal, yaitu:  rancangan rekomendasi (alternatif regulasi, kebijakan atau intervensi pemerintah) yang telah dihasilkan oleh penelitian, daftar pihak terkait dengan regulasi/ kebijakan/ intervensi yang disarankan telah diketahui, serta Komunikasi awal dengan pihak terkait (internal/eksternal) dengan hasil penelitian.

BAGAIMANA DENGAN KITA?

IAIN Surakarta sebagai salah satu PTKI di Jawa Tengah perlu menindaklanjuti hilirisasi hasil penelitian agar dana yang sudah dikucurkan bisa bermanfaat bagi masyarakat internal maupun eksternal. Langkah yang pertama dan utama memetakan program studi yang ada dengan pihak-pihak-pihak yang terkait dengan regulasi/ kebijakan/ intervensi yang disarankan  dalam penelitian. Contoh peta yang bisa dibuat sebagai berikut:

Tabel 3. Peta pemakai produk riset IAIN Surakarta

Dilihat dari tabel di atas menunjukkan bahwa produk penelitian sangat banyak dan semestinya bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Semoga…

Daftar Pustaka

Adhi Indra Hermanu. (2017). Indikator Pengukuran TKT Perdirjen Penguatan Risbang No. 603/E1.2/2016. https://www.usd.ac.id/lembaga/lppm/f1l3/2017/Materi%20sosialisasi%20panduan%20XI/TKT%20Indikator.pdf

Cloudwatch. (2017). Readiness for Market: More than completing software development. https://www.cloudwatchhub.eu/exploitation/readiness-market-more-completing-software-development.Direktorat Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat. (2017). Panduan Pelaksanaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat di Perguruan Tinggi Edisi XI (Tahun 2017). http://indonesiadrc.id/upload/images/d30d532dd7275ce2cdf3d5235c0974f4.pdf

Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat. (2017). Selayang Pandang
Tingkat Kesiapterapan Teknologi (TKT). http:// www.researchgate.net/…Tingkat_Kesiapterapan_Teknologi/

European Community. (2014). Technology Readiness Levels (TRL). https://ec.europa.eu/research/participants/data/ref/h2020/wp/2014_2015/annexes/h2020-wp1415-annex-g-trl_en.pdf

Muhammad Maftukh Basuni (2009). Perguruan Tinggi Bukan Menara Gading. Pinmas Kemenag. Kamis, 15 Januari 2009.  https://www2.kemenag.go.id/berita/81790/perguruan-tinggi-bukan-menara-gading

Risbang Ristekdikti. (2018). Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 42 tahun 2016 Tentang Pengukuran dan Penetapan Tingkat Kesiapterapan Teknologi. http://risbang.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Permenristekdikti-42-2016.pdf

INISIASI ENDOWMENT FUND DI PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM

Dr.H.Muhammad Munadi, M.Pd
(Wakil Rektor II Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan)

PENGANTAR

Perguruan Tinggi memerlukan dana yang sangat besar untuk operasional pembiayaannya, baik biaya investasi (biaya investasi lahan pendidikan; dan biaya investasi selain lahan Pendidikan), biaya operasi (biaya personalia; dan biaya nonpersonalia), bantuan biaya pendidikan; serta beasiswa. Biaya tersebut jika hanya menganggarkan pada dana yang berasal dari mahasiswa maka akan berakibat pada tingginya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) yang dibayarkan oleh mahasiswa. Agar SPP bisa terjangkau oleh masyarakat dan perguruan tinggi bisa berjalan secara baik dan bermutu diperlukan sumber dana penyangga. Penyangganya tidak hanya dana yang berasal dari mahasiswa saja tetapi harus luas dari itu. Dana bisa berasal orang tua mahasiswa, alumni, dunia usaha maupun dunia industri. Hal ini sudah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2012 pada Pasal 84 bahwa masyarakat dapat berperan serta dalam pendanaan Pendidikan Tinggi dalam bentuk: hibah; wakaf; zakat; persembahan kasih; kolekte; dana punia; sumbangan individu dan/atau perusahaan; dana abadi Pendidikan Tinggi; serta bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kebijakan ini sudah dioperasionalkan dalam Permendikbud No. 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi pada Pasal 41 bahwa Badan penyelenggara perguruan tinggi atau perguruan tinggi wajib mengupayakan pendanaan pendidikan tinggi dari berbagai sumber di luar sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) yang diperoleh dari mahasiswa, antara lain: hibah; jasa layanan profesi dan/atau keahlian; dana lestari dari alumni dan filantropis; dan/atau kerja sama kelembagaan pemerintah dan swasta. Konsekuensi dari kebijakan tersebut adalah kewajiban Perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan, mekanisme, dan prosedur dalam menggalang sumber dana lain secara akuntabel dan transparan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan.

Realitasnya beberapa perguruan tinggi sudah melakukan inisiasi implementasi kebijakan dana abadi (endowment fund) diantaranya UI dengan Makara, UIN dengan STF, UNAIR dengan Pusat Pengelolaan Dana, serta yang paling terakhir dilakukan oleh ITS melalui penggalangan dana untuk endowment fund 04 September 2018 pada saat Pembukaan Dies Natalis ke-58. Jika keempat perguruan tinggi ini bisa mengoptimalkan sumber dana di luar SPP maka bisa saja akan bersaing dengan perguruan tinggi di Amerika Serikat. Perguruan Tinggi di AS memiliki dana dari endowment fund yang sangat besar (Farran Powell, 2018) sebagi berikut:

Tabel 1. Sepuluh Besar Daba Abadi (Endowment Fund) Universitas di Amerika Serikat

No School name (state) End of fiscal year 2017 endowment U.S. News rank
1 Harvard University (MA) $37,096,474,000 2
2 Yale University (CT) $27,216,639,000 3 (tie)
3 Stanford University (CA) $24,784,943,000 7
4 Princeton University (NJ) $23,353,200,000 1
5 Massachusetts Institute of Technology $14,832,483,000 3 (tie)
6 University of Pennsylvania $12,213,207,000 8 (tie)
7 Texas A&M University—College Station $10,808,501,077 66 (tie)
8 University of Michigan—Ann Arbor $10,777,563,000 27 (tie)
9 Columbia University (NY) $9,996,596,000 3 (tie)
10 University of Notre Dame (IN) $9,684,936,000 18

Kalau dana di atas di-kurs-kan ke mata uang Rupiah maka jumlahnya sangat fantastis bisa lebih dari angka triliunan. Besarnya dana endowment fund ini karena sudah dikelola secara professional, modern dan sangat ketat sehingga bisa menambah dana operasional perguruan tinggi. Ini disebabkan dana pokok tidak bisa diambil pemilik namun bisa terus bertambah bisa dari sumbangan maupun bunga bank atau deviden yang tidak didistribusikan untuk tambahan dana operasional perguruan tinggi.  

TIGA MODEL PENGELOLAAN ENDOWMENT FUND

Model Pengelolaan Endowment yang diterapkan di perguruan tinggi di Amerika Serikat diantaranya yang paling menonjol adalah : Harvard pada Universitas Harvard, MIT pada Universitas MIT, serta Model Cornel pada Universitas Cornell. Gambarannya sebagai berikut:

Gambar 1. Tiga Model Pengelolaan endowment Fund di Perguruan Tinggi

(Dr. Syafruddin A. Temenggung, 2016)

Ketiga perguruan tinggi di atas terlihat bahwa pendapatan operasional perguruan tinggi ada duna model. Model Harvard dan Model MIT sama akan tetapi Model Cornell berbeda. Dua perguruan tinggi yang sama (MIT dan Harvard) berasal dari dua sumber yaitu berasal dari research grants yang diterimakan ke Research Centers dan berasal dari hadiah/warisan yang dikumpulkan ke dalam endowment fund.  Sedangkan Cornel satu sumber pendapatan sama dengan MIT dan Harvard ditambah berasal dari hadiah/warisan yang dialokasikan untuk endowment fund dan untuk Rumah Sakit milik Universitas Cornell.

Perguruan Tinggi Harvard dan MIT dalam mengelola endowment fund didelegasikan ke lembaga yang benar-benar menekuni usaha yaitu Harvard Management Company, sedangkan di Perguruan Tinggi MIT dibebankan pada dua usaha yaitu MIT Investment Management Company (MIT-IMCO) dan usaha real estate. Hal ini berbeda dengan Universitas Cornell yang mempercayakan dana abadi pada Treasury. Prosentase terbesar penyumbang pendapatan operasional perguruan tinggi yang berasal dari dana abadi adalah universitas harvard.

Dana abadi bisa mendukung dana operasional Universitas. Dua kategori terbesar dana mencakup gaji dosen, termasuk jabatan profesor, dan bantuan keuangan untuk mahasiswa yang mau meraih gelar sarjana, beasiswa pascasarjana, dan kehidupan dan kegiatan mahasiswa. Disamping itu dana abadi bisa mendukung program akademik, perpustakaan, museum seni, fasilitas, dan berbagai kegiatan lainnya seperti dana penelitian dan yang lainnya. Menurut lpaoran Harvard (2019) yang di-publish menunjukkan bahwa dukungan dana abadi milik Harvard bisa mendanai hampir dua pertiga dari biaya operasinya ($ 5,0 miliar pada tahun fiskal 2018).

POTENSI DANA ABADI DI INDONESIA DAN PELUANGNYA BAGI PENDIDIKAN

Belajar dari tiga perguruan tinggi di Amerika Serikat semestinya perguruan tinggi di negara Muslim bisa lebih maju dan potensinya sangat besar. Ada dana infaq wajib maupun sunnah serta hibah dan wakaf. Kesemua sumber dana tersebut yang paling besar adalah sumber dana dari wakaf – baik tunai maupun yang lainnya. Menurut BWI (2008) bahwa data yang dihimpun Departemen Agama RI, jumlah tanah wakaf di Indonesia mencapai 2.686.536.656, 68 meter persegi (dua milyar enam ratus delapan puluh enam juta lima ratus tiga puluh enam ribu enam ratus lima puluh enam koma enam puluh delapan meter persegi) atau 268.653,67 hektar (dua ratus enam puluh delapan ribu enam ratus lima puluh tiga koma enam tujuh hektar) yang tersebar di 366.595 lokasi di seluruh Indonesia. Sementara potensi wakaf tunai di Tanah Air mencapai Rp 180 triliun dan pada tahun 2018 baru terealisir Rp. 800 milyar (Republika, 2018). Besarnya potensi dan realitas data di atas semestinya bisa dijadikan instrument bagi perguruan tinggi milik umat Islam untuk bisa menarik dana tersebut untuk pengembangan lembaganya. Minimal bisa bekerjasama dengan Lembaga yang sudah ada.

Endowment diberi istilah oleh King Abdul Aziz University sebagai a modern waqf. Rujukan tersebut berarti bahwa potensinya sangat besar di Indonesia dilihat dari penduduknya yang beragama Islam.

MANAJEMEN ENDOWMENT FUND PADA PERGURUAN TINGGI

Pendanaan pendidikan pada umumnya dan pendidikan tinggi pada khususnya adalah salah satu masalah terbesar yang dihadapi dunia Islam karena tingginya biaya pendidikan dan perluasan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi, karena meningkatnya jumlah siswa yang terdaftar di pendidikan tinggi. Besarnya mahasiswa yang masuk dengan tanpa perimbangan ketersediaan anggaran bisa mengakibatkan kualitas yang lebih rendah di lembaga pendidikan tinggi karena harus terpenuhinya sarana dan prasarana Pendidikan tinggi, seperti: laboratorium, alat bantu pengajaran, perpustakaan dengan buku dan database lainnya.

Hasil penelitian Ridwan Bakar (2018) menunjukkan bahwa wakaf terbukti menjadi sumber alternatif pendanaan pendidikan di negara-negara Muslim lain seperti Turki dan Mesir. Keseriusan perlu ada dalam penanganan wakaf untuk membantu pendanaan perguruan tinggi. ACE (2014:8) menyatakan bahwa For private—and increasingly for public—colleges and universities, endowments are used to support student financial aid, teaching, research and innovation, public service, and other campus activities.

Dalam mengelola dana abadi atau dana wakaf bisa mengadopsi pendapat Mohamed Ibrahim Negasi. (2017:139-140) tentang pengelolaan dana abadi. Metode pertama: Lembaga wakaf dapat menumbuhkan semua uang tunai yang telah dikumpulkannya dengan memanfaatkan berbagai model investasi seperti muḍārabah, mushārakah, ijārah dan model investasi modern dan kontemporer lainnya yang telah dikembangkan oleh sektor perbankan Islam.  Biaya penerima akan ditanggung oleh laba dari investasi saja, sedangkan modal wakaf akan tetap terlindungi dan tidak berkurang.

Metode kedua: Lembaga wakaf dapat membagi dana yang diberkahi menjadi dua bagian; bagian yang akan diinvestasikan menggunakan moda investasi yang disebutkan dalam metode pertama untuk memastikan kelangsungan wakaf, sedangkan bagian kedua akan dialokasikan untuk pembiayaan pendidikan tinggi.

Ide inisiasi yang bisa diimplementasikan di Lembaga ini bisa dengan cara beberapa orang (dosen, jabatan fungsional umum, jabatan fungsional, pejabat structural maupun manjerial serta mahasiswa dan alumni)  komitmen untuk penggalangan dana tidak perlu terlalu besar dulu. Dana yang terkumpul dibuat sebuah rekening deposito/tabungan terencana. Dana yang terkumpul tidak bisa dikurangi oleh siapapun. Dana yang terkumpul akan mendapatkan bagi hasil/bunga. Pendapatan dari bagi hasil/bunga ini bisa dipergunakan untuk dana beasiswa yang bisa membantu perkuliahan mahasiswa. Bismillah. Wallahu a’lam.

Daftar Pustaka

ACE. (2014). Understanding College and University Endowments. American Council on Education. https://www.acenet.edu/news-room/Documents/Understanding-Endowments-White-Paper.pdf
BWI. (2008). Database dan Potensi Wakaf. http://www.bwi.or.id/index.php/ar/component/content/article/80-database-dan-potensi-wakaf.html
Farran Powell. (2018). 10 Universities With the Biggest Endowments. USNews and World Report Oct. 16, 2018, at 9:00 a.m.. https://www.usnews.com/education/best-colleges/the-short-list-college/articles/10-universities-with-the-biggest-endowments
Mohamed Ibrahim Negasi. (2017). Financing Higher Education in the Islamic World Through Waqf (Endowment). European Journal of Multidisciplinary Studies May-August 2017 Volume 2, Issue 5 136. http://journals.euser.org/files/articles/ejms_may_aug_17/Mohamed.pdf
Ridzwan Bakar. (2018). Viewpoint by Guest Writer Cash Waqf for education: Prospects and challenges. Journal of Emerging Economies & Islamic Research 6(2) 2018, 1 – 4. http://www.jeeir.com/v2/images/2018V6N2/JEEIR2018_620_Viewpoint.pdf
Syafruddin A. Temenggung. (2016). World University and Endowment Management What ITB Should Learn and Develop. http://fmipa.itb.ac.id/wp-content/uploads/sites/40/2014/06/ITB_WU-27-feb-2016-MWA-revisi-220216.pdf

Moderasi Agama – Pesan Menag LHS dalam Rakernas 2019

Dr.H. Mudofir, S.Ag., M.Pd – Rektor IAIN Surakarta

Pidato Menteri Agama LHS dalam pembukaan Rakernas 2019 telah menyulap perhatian hadirin dengan penuh magis. Tidak seperti biasa, kali ini beliau membaca teks utuh agar pesannya tidak terkurangi. Isinya penuh makna dan sangat ensiklopedis.

Yang menyentuh, beliau sebut pidato ini sebagai pidato yang terakhir dalam Rakernas tahun kelima sebagai Menteri Agama. Ini seperti pidato perpisahan, “pesan terakhir” untuk membumikan makna moderasi beragama di bumi Indonesia. Ini juga mirip pesan terakhir Nabi dalam haji wada’.

Ada diksi yang tidak biasa dalam seluruh pidato beliau yang saya ikuti selama ini, yakni diksi ‘mantra’, ‘jimat’, dan ‘magis’–diksi yang biasa digunakan antropologi agama untuk menjelaskan daya magis yang memengaruhi perilaku-perilaku pemeluknya. Menteri Agama memang berharap agar kata moderasi punya daya magis untuk memengaruhi khalayak dalam pikiran, ucapan, tindakan kaum beragama secara lebih toleran dan rahmatan lil ‘alamin. Juga agar umat mampu menggunakan ayat-ayat Tuhan secara benar–termasuk mampu membedakan ayat-ayat Tuhan dari ayat-ayat bukan Tuhan.

Dalam garis kontinum pemikiran di atas, Menteri LHS menegaskan perlunya pelafalan kata moderasi secara terus-menerus agar daya magisnya efektif dalam kehidupan beragama. Peserta Rakernas diimbau agar menerjemahkan kata moderasi dalam program-program mereka.

Menarik bahwa Kementerian Agama akan membentuk tim untuk menyusun panduan Moderasi Beragama agar pemahaman kata ini memperoleh pemahaman yang tepat olen umat. Dan sebagai instrumen untuk memahami Kitab Suci secara moderat dalam arti tidak terlalu tekstual, legal-formal, konservatif, tetapi juga tidak terlalu liberal.

Secara keseluruhan, pidato ini mewakili kehendak kuat agar mantra moderasi menjadi kesadaran bersama para elit agama, elit masyarakat, dan umat untuk diejawantahkan dalam kehidupan. Beliau gelisah bahwa di tengah kecanggihan media sosial, moderasi beragama belum memperoleh ruang tumbuh yang besar akibat serangan generasi milineal yang sebagian besar lebih suka informasi serba instan dan hoaks. Karena itu, PTKIN yang punya otoritas keagamaan perlu ikut serta dalam merespons gerakan anti-tesis moderasi yang kini telah mengisi ruang-ruang publik dan digital.

(Mudofir Abdullah, Shangri-La Hotel, Jakarta, 24 Jan 2019)

Catatan Academic Traveling ke India

Oleh: Dr. H. Mudofir, S.Ag., M.Pd (Mudhofir Abdullah)
(Rektor IAIN Surakarta/ Penulis Buku Arkeologi Fikih Sosial)

Chapter 1

Mengapa mengunjungi India itu penting? Menurut saya, sedikitnya ada empat alasan utama. Pertama, India adalah bangsa besar dengan kebudayaan dan sejarah yang kaya dan panjang. Kedua, masa lalu India di abad pertengahan adalah kebesaran Islam dengan warisan kebudayaan, seni, ilmu pengetahuan, dan raja-raja Muslim–yang sangat historis dan klasik adalah Taj Mahal. Ini kebalikan dari Indonesia yang mayoritas Muslim tapi warisan masa lalunya Hindu-Budha dengan Borobudur, Prambanan, dan lain-lain sebagai latar belakang. Ketiga, India adalah bangsa yang punya pengaruh besar dalam warisan sejarah Hindu-Budha sejak abad ke-2 (?) dalam bentuk kerajaan-kerajaan besar: Mulawarman di Kutai (400 M), Purnawarman Jawa Barat (400 M), Sriwijaya (abad ke-7) di Palembang/Jambi, Majapahit (abad ke-11) Jawa Timur, dll. Keempat, India modern merupakan bangsa berpenduduk terbesar di dunia dengan 1,3 (?) miliar. Alasan penting lainnya dapat ditambahkan.

Dengan mengantongi izin dari Sekretariat Negara–melalui Menteri Agama–saya berkesempatan mengunjungi India untuk menjalin kerjasama dengan beberapa Universitas dan Jamiah Islam di sini.

Yang mengusik pertanyaan saya dalam kunjungan ini adalah mengapa kejayaan Hindu-Budha dari India yang begitu besar tidak berlanjut? Mengapa peradabannya ‘punah’ setelah gempuran demi gempuran dari peradaban lainnya (Islam, Kristen, Barat, dan modernitas) datang berinteraksi? Tidak adakah elemen-elemen dasar dari ajaran Hindu-Budha yang dapat melindungi dirinya sendiri untuk terus berjaya di dunia modern? Pertanyaan-pertanyaan di atas menarik karena jejak sejarah India luar biasa besar bagi dunia dan juga Nusantara.

Bangsa India merupakan ras Arya yang menurunkan cucu-cucu sangat pintar yaitu bangsa Yunani, Jerman, Iran, dll. Nenek moyang purba India konon berdiaspora ke Eropa melalui lembah-lembah. Lembah-lembah tersebut dulu berupa daratan dan belum jadi lautan. Di tanah-tanah baru inilah mereka menetap dan membangun peradaban. Di Mesopotamia (kini Iran dan Irak), ras arya keturunan India menemukan huruf paku–sebuah periode penting umat manusia memasuki babak sejarah dan mengakhiri era prasejarah. Sementara di Yunani, cucu-cucu India membangun mazhab filsafat dengan refleksi-refleksi tinggi kehidupan. Plato, Socrates, Aristoteles, Thales, Aristoteles, dll tercatat sebagai filosof-filosof utama yang membuka tabir rahasia-rahasia alam. Kelak, nilai-nilai Yunani ini mewariskan DNA peradaban Barat modern dengan lompatan-lompatan yang penuh decak kagum.

Selanjutnya, jejak sejarah India bagi Nusantara sangat banyak, mulai dari agama, seni, bangunan, nilai-nilai budaya, hingga pendidikan. Di era Sriwijaya banyak orang Indonesia (baca: Nusantara) belajar di Universitas Nalanda India. India menjadi pusat destinasi pendidikan tinggi yang penting bagi Nusantara. Selama ribuan tahun, pengaruh Hindu-Budha asal India menjadi pegangan dan pandangan hidup Nusantara sebelum akhirnya digerogoti oleh pengaruh Islam, agama Kristen, dan budaya Barat.

Islam dan Kristen (dan juga Yahudi) lahir di Palestina dan Arab. Agama monoteisme ini dibawa oleh ras semit. Yang termasuk ras ini antara lain Arab, Suriah, Israel, Palestina, dll. Dalam sejarah ada persaingan antar ras: ras arya vs ras semit. Arab dan Palestina yang ras semit melahirkan para Nabi. Sementara Atena Yunani yang ras arya melahirkan para filosof. Persaingan historis ini sebagian masih berlangsung hingga hari ini–meskipun kini ada banyak faktor yang ikut berperan, misalnya, munculnya ras Asia yang menjadi faktor lain (New Delhi, 27 Des 2018)

 

Chapter 2

Menyatukan gambaran mozaik sejarah India purba dengan sejarah India modern adalah pekerjaan Tuhan yang Maha Tahu. Tapi manusia bisa melakukannya dengan, di antaranya, melalui imajinasi dengan panduan potongan-potongan arkeologis–meski bisa sangat arbitrer.

Dalam perjalanan menuju Deoband Darul Uloom wilayah Uttar Pradesh dari New Delhi, jalanan macet dan berdebu. Nampak kepadatan tiada tara. Tanah-tanah merekah kering dan pohon-pohon meranggas. Infrastruktur terlihat menua dan tidak terawat. Dengan suhu 10 derajat, nampak penduduk berbaju tebal dengan penutup kepala. Semua itu membawa ke pertanyaan: mengapa penduduk India mencapai lebih kurang 1,3 miliar dan terbesar di dunia? Apa yang membuat mereka mencapai jumlah fantastik ini dan dapat bertahan? Ini pertanyaan historis, arkeologis, sosiologis, dan teologis.

Ada kemungkinan-kemungkinan jawaban. Pertama, karena alamnya subur sehingga cukup tersedia pangan. Kedua, ada stabilitas politik masyarakat yang terjaga sehingga memberi ruang tumbuh bagi generasi untuk beranak pinak. Ketiga, pandangan dunia yang terbuka sehingga bisa beradaptasi dengan lingkungan. Keempat, ada ajaran agama yang mendorong beranak banyak. Kelima, bencana yang ada cukup moderat. Keenam, bangsa India merupakan bangsa Tua.

Tumbuh dan matinya peradaban bangsa dipengaruhi oleh faktor-faktor di atas. China dengan penduduk terbesar nomor 2 di dunia, sebagai perbandingan, dapat bertahan hidup karena terus-menerus memperbarui mekanisme pertahanan yang efektif. Ketika bencana sungai kuning dan bencana2 lainnya melanda, mereka bermigrasi keluar dan membangun keberhasilan di tempat yang baru. China disusul India akan terus memainkan geopolitik dan geostrategis yang penting di masa depan berkat pengalaman mereka dalam mengatasi tantangan-tantangan sejarahnya. Dalam ber-evolusi, pengalaman-pengalaman hidup mereka mewariskan DNA yang makin tangguh kepada anak-anak turunannya. Jika tidak pastilah mereka akan punah lebih awal atau jumlah penduduknya tidak sesubur sekarang.

Secara biologis, bangsa India, dengan demikian, telah mampu bertahan dan berkembang hingga hari ini. Namun evolusi agama dan kebudayaannya susut sejak datangnya teologi monoteisme yang sederhana tanpa kasta. Dan juga sejak ide-ide rasionalisme mengubah pandangan-pandangan kuno tentang Tuhan, alam, serta manusia dari filsafat Barat.

Harus dicatat bahwa evolusi terjadi bukan hanya secara biologis tetapi juga historis dan sosiologis. Karena itu, peradaban apapun termasuk India mengalami masa lahir, masa kanak-kanak, beranjak dewasa, hingga masa kematian. Seperti lapisan kulit bawang, bagian terluar akan mati disusul lapisan-lapisan kulit yang lebih muda. Lihatlah punahnya peradaban-peradaban kuno seperti Mesopotamia, Sumeria, Firaun, dan lain-lain dengan kelahiran peradaban baru.

Agama Hindu, misalnya–dan mungkin agama-agama lainnya–melahirkan cucu-cucu dalam tafsir dan penerapannya setelah mengalami evolusi panjang. Ketika ajaran Hindu berjumpa dan berdialog dengan Islam, lahirlah agama Sikh. Jadi, agama Sikh lahir dari hasil penyerbukan Hindu dan Islam. Ini mirip munculnya sekte Ibadi (?) sebagai hadil penyerbukan Syiah dan Kristen. Atau agama Jawa-nya Geerzt, abangan, sebagai hasil dari perkawinan antara norma-norma Jawa dengan Islam. Perkawinan silang antar-budaya atau osmosis dalam evolusi kehidupan tak pernah bisa dihindari. Justru evolusi inilah yang menciptakan bentuk-bentuk baru kehidupan baik dalam warna, rasa, dan keragaman. Hukum evolusi itu bersifat ‘menyempurnakan’ ke arah yang sesuai dengan lingkungan-lingkungan baru.

Jangankan manusia, rumput-rumput saja saling bersaing untuk bertahan hidup dan berkembang melalui evolusi. Rumput-rumput yang hidup dalam lubang kecil di tanah, misalnya, saling berebut makanan dan pasangan. Yang lemah mati dan yang kuat terus tumbuh. Lahirlah juga varietas-varietas baru hasil perkawinan silang dengan jenis rumput lain yang di dekatnya. Begitulah hukum besi evolusi yang oleh Darwin disebut ‘natural selection of the fittest’.

Nah, India dalam agama dan kebudayaan mengalami disrupsi sejak ratusan tahun yang lalu. Ada versi baru dan edisi baru dalam wujud humanisme yang oleh Yuval Noah Harari akan menggantikan jenis-jenis ‘agama kuno’. Edisi revisi adalah artikulasi dari hukum evolusi.

Ada pelajaran yang patut dipetik oleh kita semua. Jika kita tak melakukan revisi-revisi atau inovasi, maka akan tergerus oleh perubahan lalu punah menjadi fosil. (Agra, Taj Mahal, 29 Desember 2018)

 

Chapter 3

Mencermati masa kini Islam di India sangatlah memprihatinkan baik secara budaya, pendidikan, ekonomi, maupun sosial-politik. Dengan jumlah penduduk Muslim 173 miliar menurut sensus tahun 2011, umat Islam India merupakan terbesar kedua di dunia setelah Indonesia. Namun, keberadaan mereka dengan kebesaran sejarah dan warisannya hanya terkesan menjadi ‘cagar budaya’ di tengah hiruk-pikuk politik nasional India. Mereka seperti berada di dalam rumah kaca, selalu diawasi oleh pemerintah dan tak jarang dicurigai loyalitasnya. Ini semua mungkin dampak dari trauma sejarah berdirinya Pakistan yang terpisah dari India pada 14 Agustus 1947.

Persaingan politik, sosial, dan ekonomi terjadi antara Hindu, Islam, dan Sikh dengan level yang sangat dinamis dan peka. Kerusuhan-kerusuhan antar ketiganya berkali-kali terjadi dan ini menguras fokus dalam bidang-bidang lain, di samping terus memupuk kecurigaan masing-masing pihak. Dalam kondisi lingkungan semacam ini, Muslim India masa kini belum memainkan peran yang penting. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada masih ‘konservatif’ dan lebih fokus pada upaya konservasi ajaran-ajaran agama dasar dengan kurikulum yang tidak responsif terhadap perubahan-perubahan besar dunia–dengan beberapa perkecualian Alighar University, Jamia Millia Islamiyah, dll. Sementara yang lain seperti Deoband Darul Uloom, New Delhi Darul Uloom–lembaga yang saya kunjungi kurang responsif terhadap tuntutan-tuntutan jaman. Meminjam istilah Samuel Bowles (?), lembaga-lembaga tersebut mirip cagar budaya karena dikerjakan untuk usaha melindungi mazhab-mazhabnya sendiri.

Tapi sebenarnya, kondisi pendidikan Islam di India yang kurang responsif terhadap modernitas juga menjadi fenomena pendidikan Islam di mana-mana. Inilah yang disebut krisis pendidikan Islam. Kata ‘krisis’ menunjukkan arti gawat dan berada di ujung titik henti. Banyak cendekiawan Muslim telah banyak bicara krisis ini sejak peralihan abad 19 sebagaimana ditunjukkan dalam karya-karya Taha Husein, Syakib Arsalan, Allamah Muhammad Iqbal, dll. Dalam karya Iqbal tahun 1930 (?), the Reconstruction of Religious Thought in Islam, misalnya, sudah menggaungkan perlunya umat Islam menggerakkan kembali potensi ijtihad sebagai prinsip gerakan aktif peradaban.

Dalam konteks modern, ijtihad bukan lagi hanya dari teks-teks verbatim al-Quran dan Hadis tetapi juga dari hukum-hukum semesta Allah sebagaimana yang ada dalam fenomena-fenomena alam: fisika, kimia, kedokteran, sains, arsitektur, dll. Sebagian besar kita masih menganggap kitab suci itu hanya satu, yaitu Kitab Suci yang tertulis. Akibat pemahaman ini, lembaga-lembaga yang dibuat hanya melulu melayani konservatisme teks dan sepenuhnya bersifat deduktif. Kita berputar-putar di tempat: dari teks, oleh teks, untuk teks. Maka hasilnya adalah peradaban teks. Pendidikan yang ada menghasilkan para penjaga teks yang terkadang secara otoriter menghakimi yang berbeda. Itulah sebabnya, Allamah Iqbal dalam the Reconstruction menegaskan bahwa amal perbuatan itu lebih penting …

 

Chapter 4

Bagaimana membaca warisan dunia Islam Taj Mahal di India modern? Secara sepintas, bangunannya seperti masjid dengan dua menara dan kubah utamanya sangat megah. Materialnya dari marmer dan batu alam dari berbagai dunia.

UNESCO mengakuinya secara resmi sebagai warisan dunia tahun 1983 dan termasuk salah satu tujuh keajaiban yang pernah ada sepanjang sejarah homo sapiens. Dibangun oleh 20 ribu arsitek yang diketuai oleh arsitek Muslim Ahmad Lahauri pada 1632 di bawah pemerintahan Mughal Shah Jahan. Dibangun dengan arsitektur tingkat tinggi oleh berbagai ahli dunia selama 28 tahun dengan biaya 52.8 triliun rupees atau sekitar $ 827 juta U.S (kurs tahun 2015).

Yang menarik untuk disorot dari Taj Mahal adalah motivasi pembangunannya. Taj Mahal dibangun bukan untuk kepentingan agama atau negara, tapi dibangun sebagai kenangan atas kematian istri tercintanya, Mumtaj Mahal–yang dinikahi pada usia 16 tahun dan berasal dari Iran sesama ras Arya dengan mata birunya. Dengan biaya yang sangat besar dan menguras kas negara, kerajaan terakhir Mughal ini akhirnya mengalami kebangkrutan.

Era raja-raja memang semau gue dalam hal membuat persembahan atas dorongan cinta dalam bentuk bangunan. Taman Gantung di era Hammurabi Persia, Candi Sewu (?), dll adalah contoh-contoh bagaimana kekuatan cinta sering mendorong yang mustahil menjadi hal yang bisa diwujudkan. Cinta atau belas kasih memang punya kekuatan yang mirip iman, keyakinan, dan kepercayaan. Mereka membentuk struktur nilai yang sanggup menopang sebuah peradaban. Saya setuju dengan pernyataan bahwa tak ada peradaban besar yang dapat tumbuh tanpa peradaban itu ditopang oleh nilai-nilai tertentu.

Jika tak ada cinta, Taj Mahal tak pernah tercipta. Jika tak ada iman Borobudur tak mungkin terwujud, dan jika tak ada keyakinan sebuah peradaban tak akan bertumbuh. Cinta kasih, iman, dan keyakinan adalah energi hidup yang membuat yang lemah jadi kuat. Nampaknya, ketiga hal ini juga ada dalam ajaran agama-agama.

Pertanyaannya, dari manakah cinta kasih, iman, dan keyakinan itu muncul? Jawabannya dari Tuhan. Melalui hukum fisika-Nya, Tuhan menetapkan evolusi setiap makhluk ke arah kesempurnaan. Sel-sel otak manusia ber-evolusi lebih cepat dibanding binatang lainnya dan bim salabim otak manusia akhirnya punya kesadaran. Kesadaran inilah yang membuat manusia dapat menafsirkan, mengembangkan, dan menghidupkan tanda-randa. Para penemu huruf di Sumeria dan Mesir sangat berjasa salam merevolusi kesadaran melalui literasi. Sejak itulah Kitab-Kitab tertulis agama-agama lahir. Sebelumnya kitab suci ada dan disampaikan dari lisan ke lisan.

Nah, nilai-nilai atau siatem nilai itu hanya ada dalam sebuah kesadaran. Hanya makhluk yang punya kesadaran yang dapat menciptakan peradaban. Dan homo sapiens manusia adalah satu-satunya makhluk yang punya kesadaran. Menarik sekali bahwa menurut Syed Hossein Nasr penciptaan pertama adalah kesadaran, bukan ‘firman’ atau kata menurut Kristiani. Kesadaranlah yang memampukan umat manusia menghitung secara matematika, mencatat dan mempelajari hukum-hukum alam, menafsirkan, dan menuliskannya untuk anak-anak cucunya. Maka dari masa ke masa pengetahuan manusia terus bertambah dan terciptalah peradaban. Ini berbeda dengan semut yang menggali tanah dengan cara yang sama sejak 15 juta tahun yang lalu di Afrika.

Betapa pun canggihnya komputer, misalnya, komputer tak bisa membuat puisi. Komputer juga tak bisa menangis secara sadar atas berita-berita buruk atau senang atas berita-berita baik.

Jadi, sebuah maha karya seperti Taj Mahal tidak berdiri sendiri tapi tercipta dari gugusan nilai yang menopangnya: yakni, cinta kasih. Karena itu, ia tak akan terulang dalam sejarah modern. Penciptaan karya-karya arsitektur besar seperti Taj Mahal, Qutb Minar, Borobudur, yang tidak memiliki keuntungan ekonomi tak akan terulang dalam sejarah modern yang sepenuhnya rasional dan komersial. Lihatlah hotel-hotel dan gedung-gedung perdagangan lebih mewah dari tempat-tempah ibadah. Sistem nilai kini telah berpindah dari yang bersifat transenden ke dimensi imanen. (Surakarta, 1 Januari 2019)

–selesai–

DINAMIKA PERGURUAN TINGGI DAN TANTANGAN PERENCANAANNYA


Oleh: Dr. H. Muhammad Munadi, M.Pd
(Wakil Rektor II, Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan)

Pendidikan Tinggi di Indonesia memiliki jenis dan program yang beragama. Sisi jenis Pendidikan tinggi meliputi: vokasi, akademik, dan profesi. Sisi program pendidikan, yaitu program diploma, sarjana, sarjana terapan, magister, magister terapan, profesi, spesialis, doktor, dan doktor terapan. Keragaman ini akan mengalami dinamika yang sangat besar karena perguruan tinggi tidak berada pada ruang hampa, sehingga dituntut untuk terus selalu berubah karena dihadapkan pada isu lokal, nasional, regional, serta internasional/global.  Isu yang berkembang harus disinergikan degan tri dharma perguruan tinggi – baik dharma pengajaran, dharma penelitian, serta dharma pengabdian kepada masyarakat. Implementasinya diperlukan penerapan model triple helix (hubungan PT (Lembaga, akademisi dan mahasiswa – industry – pemerintah). Respon yang cepat dari perguruan tinggi diperlukan seperti pernyataan Alice Gast (2018)  bahwa perguruan tinggi dapat membantu masyarakat mendapatkan dan memperkuat kembali  – kepercayaan diri, martabat, dan harapan mereka. Perubahan tersebut diperlukan deteksi dini melalui perencanaan yang matang sehingga Pendidikan tinggi bisa dinamis. Perencanaan dilakukan dalam rangka seperti yang diungkapkan  Goldman dan Salem (2015:4) untuk menanggapi perubahan keuangan, peraturan pemerintah, perubahan di ceruk pasar mahasiswa, persaingan dengan perguruan tinggi lain, teknologi baru, atau tekanan internasional. Ruang lingkupnya sesuai dengan tabel berikut:

Tabel 1. Relasi Fungsi dengan Sumber Daya Manajemen

Sumber Daya Fungsi Manajemen
Planning Organizing Actuating Controlling
Man 1 2 3 4
Money 5 6 7 8
Material 9 10 11 12
Method 13 14 15 16
Machine 17 18 19 20
Market 21 22 23 24
Minute 25 26 27 28
Knowledge 29 30 31 32

Tabel di atas menunjukkan bahwa semua sumber daya difungsikan dalam manajemen. Disinilah perencanaan harus melingkupi seluruh sumber daya berikut:

Tabel 2. Deskripsi Fungsi Manajemen Perencanaan di Perguruan Tinggi

Sumber Daya Fungsi Manajemen – Perencanaan Leadinng
Man Perencanaan Sumber Daya Manusia (Pendidik, Tenaga Kependidikan (Jabatan Fungsional Tertentu di PT), Tenaga Administrasi (Jabatan Fungsional Umum), serta Mahasiswa. Akademik
Kemahasiswaan
Kepegawaian
Money Perencanaan Sumber Daya Keuangan (cost, finance, budget) Keuangan
Perencanaan
Material and Method Perencanaan sumber daya bangunan dan sistem teknis lainnya yang mendukung operasional organisasi perguruan tinggi. Umum dan Rumah Tangga
Akademik
Laboratorium
Machine Perencanaan peralatan pembelajaran dan laboratorium Umum dan Rumah Tangga
Akademik
Program Studi
Method Perencanaan Sumber Daya Kurikulum, Silabus, Satuan Acara Perkuliahan, serta Bahan Ajar Lembaga Penjaminan Mutu
Akademik
Program Studi
Market Perencanaan 9 P Marketing Mix (Product, Place, Price, Promotion, Passion, People, Processes, Physical Evidence, and Productivity and Quality) Humas
Minute Perencanaan kalender akademik dan kalender penyusunan anggaran pendapatan dan belanja serta realisasi anggaran. Akademik
Perencanaan
Keuangan
Knowledge Perencanaan penyimpanan dan pendistribusian produk pengetahuan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa perencanaan (sisi sumber daya manusia dan sumber data) tidak hanya fokus di bidang keuangan saja akan tetapi juga di semua bidang yang ada di setiap perguruan tinggi. Disinilah diperlukan pemahaman ulang bahwa perencanaan hanya terkait dengan keuangan tetapi lebih luas dari itu. Namun demikian tetap harus ada kepastian penugasanya pada masing-masing bagian termasuk di territorial (bidang) mana. Mana yang dikerjakan oleh kantor rektorat, fakultas, lembaga maupun unit pelaksana teknis. Kepastian ini akan berdampak tidak adanya tumpang tindih maupun duplikasi perencanaan. Perencanaan juga mengacu pada data-data yang ada pada fungsi yang lainnya – organizing, actuating serta controlling. Hal ini sesuai semangat perintah dalam Al Qurán Surat Al Hasyr ayat 18:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Semangat ayat ini menunjukkan bahwa semua sumber daya, bidang dan fungsi yang ada dalam manajemen harus melakukan introspeksi serta controlling dalam kerangka perbaikan yang dilakukan terus menerus untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Bentuknya dua hal yaitu asesmen kecukupan (AK) dan asesmen lapangan (AL) dalam bahasa akreditasi.  Ini sangat internal, harus juga disandingkan atau dibandingkan dengan Lembaga lain yang lebih baik. Hal ini akan membawa kualitas Lembaga semakin terlihat. Disinilah Lembaga dan sumber daya manusia yang ada di dalamnya tidak hanya puas atas capaian mutu secara internal saja tetapi juga melihat lembaga lain. Pernyataan ini didasarkan pada hasil penelitian Seyfried dan Pohlenz (2018) bahwa dukungan manajemen dan kerjasama yang lebih tinggi dari lembaga pendidikan tinggi dengan lembaga pendidikan lainnya adalah prakondisi yang relevan untuk derajat jaminan kualitas yang lebih besar.

Siapa Yang Terlibat Dalam Perencanaan?

Pembahasan ini perlu mendasarkan pada sisi pelaksana, pendukung, operator dan data dukung, Saran Hinton (2012:13-14) agar perencanaan bisa berjalan efektif perlu ada Komite Perencana. Keanggotaan komite perencanaan terdiri atas posisi-posisi kepemimpinan, seperti rector, senat, pimpinan organisasi kemahasiswaan, staf administrasi senior, serta staf akademis. Kesemua personalia ada dua hal yang dipertimbangkan yaitu dimensi manfaat tambahan bagi distribusi informasi dan akses ke kelompok-kelompok pemangku kepentingan yang siap diidentifikasi serta pembatasan waktu sebagai anggota komite perencanaan. Staf administrasi senior harus selalu dimasukkan sebagai anggota tetap. Pimpinan tertinggi perguruan tinggi merupakan pimpinan tertinggi komite perencanaan. Kehadiran pimpinan tertinggi menyediakan kepemimpinan dan dukungan yang terintegrasi. Kehadirannya sangat strategis karena yang paling tahu dan lebih baik pemahamannya tentang institusi yang dipimpinnya. Namun demikian agar komite perencanaan bisa efektif keanggotaan komite perencanaan adalah antara 10 dan 12 orang. Komite perencanaan bertanggung jawab untuk menyetujui dokumen perencanaan dan memonitornya di tingkat kebijakan, menjelaskan, mengadvokasi, dan menafsirkan hasil perencanaan.

Wallahu A’lam.

Rujukan

Hinton, Karen E. (2012). A Practical Guide to Strategic Planning in Higher Education.  https://oira.cortland.edu/webpage/planningandassessmentresources/planningresources/SCPGuideonPlanning.pdf

Gast, Alice. (2018). Universities are not ivory towers. Here’s the role they can play today. World Economic Forum 26 Jan 2018. https://www.weforum.org/agenda/2018/01/why-universities-need-to-win-back-trust/

Goldman, Charles A. and Salem, Hanine. (2015:4). Getting the Most Out of University Strategic Planning: Essential Guidance for Succes and Obstacles and Avoid. https://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/perspectives/PE100/PE157/RAND_PE157.pdf

Seyfried, Markus and Pohlenz, Philipp. (2018). Assessing quality assurance in higher education: quality managers’ perceptions of effectiveness.  Journal European Journal of Higher Education Volume 8, 2018 – Issue 3: Impact evaluation of quality management in higher education. 17 May 2018 https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/21568235.2018.1474777