IAIN SURAKARTA, QUO VADIS?

Dr. Syamsul Bakri, M.Ag-ed

Dr. Syamsul Bakri, M.Ag
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta yang sudah berumur 24 tahun pada 2016 ini telah mengalami metamorfosa sebanyak tiga kali. Sejak didirikan oleh Menteri Agama, Munawir Syadzali tahun 1992 dengan nama IAIN Walisongo Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Syari’ah Surakarta, kehidupan intelektual Islam di kota Surakarta mulai menggairahkan. Apalagi program Menag waktu itu adalah untuk mencetak kader ulama intelektual yang sudah dinilai langka. Dinamika yang terjadi di Kementrian Agama kemudian memaksa kedua fakultas tersebut menjadi sebuah lembaga tersendiri, STAIN Surakarta (tahun 1997), dan naik maqam birokrasi menjadi IAIN pada 1-1-2011.

Perkembangan yang terjadi di IAIN Surakarta, dari berbagai sisi, cukup pesat. Dari tahun ke tahun, grafik kualitas dan kuantitas menunjukkan garis me-naik. Jumlah mahasiswa yang tahun 2016 menembus angka 12.000 dengan jumlah dosen dan karyawan 400 orang adalah merupakan potensi pokok yang dimiliki, tentu dikaitkan dengan kualitas civitas akademika yang semakin baik. Belum lagi support IT dan fasilitas pembelajaran yang semakin canggih.

Dalam masa pertumbuhan ini, apa yang harus dipahami adalah bahwa IAIN Surakarta masih dalam “proses menjadi”, dari posisi institusi baligh menjadi institusi yang dewasa. Cara berfikir eksistensialisme ini penting untuk menggugah kepenasaran civitas akademika tentang masa depan IAIN Surakarta, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi bagi lembaga yang masih perlu vitamin lebih banyak ini.

Adapun beberapa potensi yang dapat dikembangkan antara lain:

Pertama, IAIN Surakarta perlu mengembangkan keilmuan “lokal” sebagai identitas dan core of exellent, yakni kajian Islamic studies yang terkait dengan kebudayaan Islam Jawa, sebagai sub kultur dari varian kebudayaan Islam di nusantara, atau meminjam istilah Sayyed Hossein Nashr, Islam Melayu. Posisi geografis IAIN Surakarta yang terletak di pusat budaya Nagari Agung (eks Mataram Islam) sangat mendukung upaya pengembangan ini. Surakarta merupakan kota tradisional yang menyimpan jejak-jejak sejarah perkembangan Islam, di samping sejarah nasional Indonesia. Banyak naskah-naskah keislaman klasik (setara dengan naskah-naskah Timur Tengah) produk ulama nusantara di Perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran, Sono Budoyo Kasunanan, Perpustakaan Monumen Pers, Perpustakaan Museum Sri Wedari, Perpustakaan Masjid Agung, dan lain-lain yang belum banyak dijamah. Padahal di perpustakaan tersebut menyimpan banyak sumber pengetahuan yang “tersembunyi”. IAIN Surakarta perlu fokus untuk melakukan reproduksi makna dari sumber-sumber sejarah dan khazanah ulumuddin hasil karya ulama nusantara tersebut.

Kedua, fakultas yang ada sekarang sudah saatnya melakukan pembelahan sel, sehingga menjadi dua atau lebih fakultas. Oleh karena itu maka fakultas perlu membuka jurusan-jurusan baru yang marketable agar proses pembelahan sel (mitosis) nanti membawa berkah, dan masing –masing fakultas dapat memproduk anak sendiri-sendiri berupa varian keilmuan dan skill yang khas. Pembelahan sel yang dilakukan Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam menjadi Fakultas Syariah dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam perlu segera diikuti pembelahan sel di Fakultas Ushuluddin dan Dakwah serta Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Hal ini sekaligus menciptakan pra kondisi dalam rangka upgrade status menjadi UIN pada tahun 2019.

Ketiga, perlu dilakukan dekonstruksi kurikulum (bukan hanya rekonstruksi), untuk membuang mata kuliah status quo dan tidak fungsional, kecuali beberapa mata kuliah ortodoksi Islam yang harus dijadikan cagar vudaya keilmuan.

Keempat, perlu sertifikasi bagi mahasiwa dalam tiga komponen, yaitu bahasa asing (Bahasa Arab dan Inggris), baca tulis al-Qur’an, serta praktek ibadah tingkat dasar.

Kelima, perlunya peningkatan mutu civitas akademika yang ditandai dengan banyaknya produk penelitian berkualitas dan tulisan yang layak baca. Karya-karya akademik, baik berupa karya ilmiah scholar (dari akademisi untuk akademisi), maupun karya ilmiah popular (dari akademisi untuk publik) perlu mendapat tempat untuk dikembangkan. Mutu dan profesionalitas tenaga kependidikan juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari hal ini.

Keenam, perlunya international office dalam rangka penguatan kelembagaan dan kerjasama. Ketujuh, mempersiapkan embrio tenaga pendidikan dalam berbagai bidang keahlian ilmu sosial, ilmu alam dan humaniora sebagai cikal bakal pembentukan fakultas sain.

Kedelapan, menjalin hubungan dan kerjasama yang baik dan berkelanjutan dengan pondok pesantren sebagai pusat kajian ulumuddin, sebagai bagian dari upaya memperoleh input mahasiswa yang berkualitas dan menjadi rekan dalam memajukan kajian Islamic studies.

Kesembilan, mendorong mahasiswa dalam mengikuti perhelatan internasional, baik dalam bidang penalaran keilmuan maupun dalam bidang minat dan bakat.

Akan tetapi, upaya pengembangan ini juga harus dibarengi dengan pembacaan yang jenius tentang induk keilmuan IAIN, dan historisitas kesejarahan IAIN. Dua fakultas “anak sulung” IAIN Surakarta, yakni Syari’ah dan Ushuluddin, yang saat ini menjadi jurusan yang langka peminat, perlu mendapat perhatian dari seluruh pimpinan di IAIN Surakarta. Pasalnya, kedua jenis keilmuan tersebut konon penampilannya sudah tidak menarik bagi masyarakat yang berfikir praktis-pragmatis. Karena di dalam perut kedua keilmuan tersebut mengandung ilmu babon, maka perlu penyelamatan dan cagar budaya dalam pengertian yang dinamis, agar ilmu ushuluddin dan syari’ah tidak termuseumkan oleh gerak pragmatisme, dan juga tidak sekedar menjadi cagar budaya yang statis.

Kesemuanya ini penting untuk memprsiapkan diri dan sekaligus pasang kuda-kuda dalam rangka menyongsong alih status IAIN menjadi UIN di tahun 2019 atau lebih cepat, dan yang lebih penting lagi adalah menjadi pusat kajian keislaman dan peradaban yang memiliki corak Surakartan, tanpa kehilangan universalitas keilmuan dan keislaman. Hanya beralih status ke UIN, institusi ini dapat survive, bertahan hidup di masa depan.

Pendidikan Islam dan Ideologi Pendidikan Kritis

Purwanto-ed

Dr. Purwanto, M.Pd
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat

Abstract

Critical education is considered as a criticism (antithesis) as well as solutions to capitalistic education. Capitalism is social, political, and economical system in which its ways of controlling is based on the market mechanism, which is free from the government intervention. As its part of in that system, education is also influenced so much by the dominant social, political and economic system that the system result in capitalistic education. Capitalistic education is characterized by knowledge as the product of school, elitist, knowledge as a commodity, gave birth to the human “owner” of knowledge, siding with the power, increasing poverty and as a means of making money. The relationship of teachers and students is relationships in business transactions. The problem is, is there any basis for critical education in Islamic education? Islamic Education, have a spirit of critical thinking analytically. Education of Prophet Abraham to Ishmael, fandzur madza tara and necessity of tabayyun or test the truth of the information and reality in Surat al-Hujurat (49): 6 is among the critical foundation of Islamic education. Tabayyun attitude is the fruit of awareness of the critical in Islamic education. In this spirit, critical of Islamic education has existed long before the emergence of critical ideology in education.

Key words : capitalistic education, critical education, Islamic critical education.

 

Abstrak

Pendidikan kritis dianggap sebagai kritik (antitesa) sekaligus solusi atas pendidikan kapitalistik. Kapitalisme adalah sistem sosial, politik dan ekonomi di mana pengaturannya diserahkan kepada mekanisme pasar yang bebas dari intervensi negara. Dalam sistem sosial, politik dan ekonomi yang kapitalis, kapitalisme mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan sehingga menghasilkan pendidikan kapitalistik. Pendidikan kapitalistik ditandai oleh ciri pengetahuan hanyalah produk sekolah, bersifat elitis, pengetahuan sebagai komoditas, melahirkan manusia “pemilik” pengetahuan, berpihak kepada kekuasaan,  meningkatkan kemiskinan dan sebagai sarana mencari uang. Hubungan guru dan anak didik seperti hubungan dalam transaksi bisnis. Permasalahannya adalah, adakah landasan pendidikan kritis dalam pendidikan Islam? Pendidikan Islam, mempunyai semangat berfikir kritis analitis. Pendidikan Nabi Ibrahim kepada Ismail, Fandzur madza tara dan keharusan tabayyun atau menguji kebenaran tentang informasi dan realitas dalam QS al-Hujurat (49): 6  merupakan di antara landasan pendidikan Islam kritis. Sikap tabayyun merupakan buah kesadaran dari proses pendidikan kritis Islam. Dengan semangat ini maka pendidikan Islam kritis telah ada jauh sebelum munculnya ideologi pendidikan kritis.

Kata kunci : pendidikan kapitalistik, pendidikan kritis, pendidikan Islam kritis.

A. Pendahuluan

Terdapat anggapan bahwa dalam proses pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam, banyak  menekankan pada penguasaan materi melalui hafalan. Akibatnya, kesadaran analitis dan berfikir kritis anak didik kurang berkembang. Adanya masalah ini, sementara pihak kemudian mengembangkan ideologi pendidikan kritis. Pengembangan pendidikan kritis pada satu sisi, merupakan kritik atau antitesa atas proses pendidikan konvensional, dan pada sisi lain sebagaimana lahirnya kritisisme, merupakan jawaban atas pengaruh kuat paham Kapitalisme.

Pengaruh sistem Kapitalisme dirasakan bukan hanya dalam sistem kehidupan sosial ekonomi namun telah memasuki ranah pendidikan. Menurut Marx[1], pendidikan merupakan proses ideologis yang lebih banyak ditentukan oleh kelas dominan. Oleh karena itu ketika kehidupan sosial, ekonomi dan politik  cenderung menuju ke arah kapitalisme, maka pendidikan dijalankan dengan “semangat” kapitalisme.

Persoalannya adalah, tepatkah mengembangkan ideologi pendidikan kritis di lembaga pendidikan Islam?  Adakah prinsip-prinsip pendidikan Islam kritis yang dapat dikembangkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Tulisan ini bermaksud mengungkap prinsip-prinsip pendidikan Islam kritis dari sumber al-Qur’an.

 

B. Pembahasan

    1. Kapitalisme dan Pendidikan Kapitalistik

Kapitalisme merupakan tata kehidupan yang menyerahkan pengaturan kepada mekanisme pasar yang bercirikan persaingan bebas melalui “tangan yang tidak tampak” (invisible hand). Dalam sistem ini, kepentingan individu dimaksimalkan untuk menjamin kepentingan sosialnya. Pendidikan merupakan usaha kemanusiaan untuk membuat anak didik mampu beradaptasi dalam lingkungannya. Anak didik sebagai “manusia baru” harus memahami lingkungan tempat dia menjalani kehidupannya. Dengan menjadi manusia terdidik, anak dapat menjalani kehidupannya secara baik demi menggapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup.

Dominasi kekuatan kapitalisme, telah menjadikan pendidikan kehilangan ruhnya. Pendidikan telah menjelma menjadi media untuk melanggengkan dan menyuburkan sistem Kapitalisme. Pengetahuan diposisikan sebagai komoditas dan produk sekolah semata. Pengetahuan  merupakan sarana untuk mencari kekayaan dan karenanya berpihak kepada kekuasaan. Hubungan guru dan anak didik merupakan hubungan transaksi bisnis. Alhasil, kapitalisasi pendidikan, telah menjadikan proses pendidikan berkiblat kepada kaum kaya, sehingga muncul adagium, “masyarakat miskin dilarang sekolah”.

Ekonomi kapitalistik memberi kebebasan individu dalam produksi. Kebebasan akan menciptakan akumulasi kapital yang dapat menimbulkan monopoli dan kartel-kartel yang diorganisir untuk mengatur pasar. Negara tidak boleh mengintervensi pasar. Stabilitas nasional diserahkan kepada mekanisme pasar. Segala produk (barang, jasa, gagasan, simbol, dan sebagainya) bebas berkontestasi dalam panggung wacana[2]. Mekanisme sepenuhnya dikendalikan oleh pasar. Menurut Adam Smith, persaingan bebas itu dikendalikan oleh “tangan yang tidak terlihat”[3]. Pasar bebas akan menguji siapa yang kuat, menang dalam persaingan, dan kemudian mampu bertahan. Persaingan bebas ini hanya akan menyisakan yang kuat dan menyingkirkan yang lemah dari arena. Pelaku pasar besar berpotensi menguasai ekonomi dan melakukan eksploitasi.

Menurut Ladislau Dowbor[4], Kapitalisme menempatkan hidup dalam hubungan jual beli atau bayar-membayar. Nilai-nilai sosial berubah menjadi transaksi bisnis. Hal yang sama berlaku berlaku dalam proses pendidikan yang merupakan usaha kemanusiaan. Dalam sistem kapitalisme, pendidikan kehilangan watak humanisnya karena proses pendidikan menjadi proses transaksi bisnis. Hubungan kemanusiaan guru dan murid hilang karena telah ditukar dengan uang.

Di antara ciri-ciri pendidikan kapitalistik adalah sebagai berikut. Pertama, pendidikan kapitalistik lebih menghargai pengetahuan yang diajarkan di sekolah. Pengetahuan di luar sekolah tidak dihargai sebagai pengetahuan. Menurut Peter L McLaren[5], kapitalisme mempunyai alasan borjuis dan hak istimewa keilmuan yang bersifat epistemis. Akibatnya, pendidikan kapitalistik melahirkan manusia berwawasan sempit dan egois. Pendidikan diselenggarakan untuk menghasilkan manusia spesialis yang mempunyai kewenangan atas disiplin spesialisasinya. Orang yang tidak mempunyai suatu bidang spesialisasi, tidak mempunyai kewenangan untuk berbicara mengenai spesialisasi tersebut karena dianggap tidak kompeten.

Kedua, pendidikan kapitalis bersifat elitis dan eksklusif. Pendidikan hanya dapat diakses oleh orang yang mempunyai uang. Pendidikan memutus kesempatan anak belajar dari alam dan memperoleh pengetahuan yang melimpah dan murah. Pengetahuan yang murah adalah pengetahuan yang dapat diakses oleh siapapun dengan harga murah karena biaya pengadaannya murah atau bahkan gratis. Pengetahuan dapat kita berikan kepada orang lain tanpa mengurangi pengetahuan kita. Kapitalisme mengemas pengetahuan menjadi komoditas yang dijajakan. Pengetahuan yang murah dimonopoli, dibuat langka, terbatas ketersediaanya, dan hanya dimiliki oleh orang-orang yang pintar, sehingga harganya menjadi mahal dan tak terbeli oleh orang miskin. Menurut Harold Raynolds[6], mereduksi bahan-bahan pendidikan seperti menarik kwitansi kosong untuk menarik dana dari kekayaan publik dan memberikannya kepada wali murid yang kaya.

Ketiga, pendidikan kapitalis melahirkan manusia elit yang menguasai pengetahuan dan dimonopoli untuk dirinya. Kapitalisme menilai hasil belajar bukan sebagai sebuah kompetensi yang dibutuhkan, tetapi kemampuan untuk memenangkan persaingan. Anak diberikan kesempatan bersaing bebas, kemudian meluluskan mereka yang berada dalam kelompok atas dan tidak meluluskan mereka yang berada dalam kelompok bawah. Nilai adalah fungsi dari daya saing kelompok atas dan bukan berdasar kompetensi. Keadaan ini membuat pengetahuan tidak berkembang sebab pengetahuan dikuasai secara individual dan tidak menjadi milik sosial.

Keempat, pendidikan kapitalistik berpihak kepada kekuasaan. Pendidikan menempatkan ilmuan di atas menara gading. Cara ini dilakukan sebagaimana para raja membangun mitos melanggengkan kekuasaan. Dosen yang sulit ditemui oleh mahasiswa dikatakan sebagai dosen yang sibuk karena berkualitas dan “laku”. Dalam masyarakat “ilmiah”, orang dikatakan kurang pandai kalau tulisannya mudah dipahami oleh orang awam.

Kelima, pendidikan kapitalis menjadikan peserta didik tidak produktif dan tidak berdaya. Hal itu disebabkan karena pendidikan menjauhkan pengetahuan dari manfaatnya untuk kehidupan. Pendidikan menjadikan mereka tidak mandiri dan menyerahkan nasib mereka kepada kapitalis. Menurut Erich Fromm[7], pendidikan telah mengaburkan isu dengan menyatakan bahwa persoalan-persoalan kehidupan terlalu rumit untuk dipahami rata-rata individu.

Dahulu petani saling belajar dan membelajarkan untuk mengatasi masalah hama tanaman. Cara ini lambat karena membutuhkan waktu. Tiba-tiba datang seorang kapitalis menawarkan produk kimia ampuh membunuh hama. Namun produk kimia itu terus ditingkatkan dosisnya setiap kali menurun efektivitasnya, hingga suatu keadaan di mana produk tidak lagi berfungsi karena hama telah kebal.

Pendidikan kapitalistik melakukan aktivitasnya seperti yang dilakukan oleh sekolah gajah. Gajah liar dijinakkan sehingga menjadi makhluk penurut. Kepadanya diajarkan bermain sepak bola, duduk, berjalan dengan dua kaki, dan sebagainya. Namun, keterampilan-keterampilan tersebut hanyalah kebutuhan pelatihnya, bukan kebutuhan gajah. Kemahiran gajah dikagumi penonton, namun ketika  gajah itu dikembalikan ke hutan, ia tidak dapat menggunakan kemahirannya untuk mencari makan.

Keenam, pendidikan kapitalis meningkatkan kemiskinan. Pendidikan kapitalis membuat pengetahuan menjadi komoditas asing, langka dan elit. Pendidikan menjadi investasi yang mahal karena sesuatu yang langka. Pendidikan hanya terbeli oleh orang kaya. Orang miskin yang ingin membeli pendidikan harus mempertaruhkan sisa kekayaannya agar dapat membeli pendidikan. Ketika memasuki dunia kerja, lulusan menjadi angkatan kerja yang melimpah jumlahnya. Pasar kerja selalu tidak cukup menampung angkatan kerja.

Murahnya harga tenaga kerja juga disebabkan karena pengetahuan yang dibeli mahal tersebut juga tidak dapat dimanfaatkan karena tidak berkaitan langsung dengan pengalaman kehidupan.  Dalam kasus ini Ivan Illich[8] menunjuk contoh penjelasan Commenicus yang mengadopsi bahasa teknik ke dalam seni mendidik anak. Alkimiawan berusaha meningkatkan nilai-nilai bahan dasar yang lebih rendah (misalnya tembaga akan diubah menjadi emas). Dengan cara menggiring zat-zat yang telah dimurnikan, mereka akan berubah menjadi emas. Para ahli kimia selalu gagal membuat emas, meski mereka sudah mencoba ratusan kali. Namun setiap kali gagal, “ilmu pengetahuan” mereka menyediakan alasan-alasan yang masuk akal hingga mereka mencoba lagi.

Ketujuh, kapitalisme menyederhanakan pendidikan sebagai sarana mencari uang. Peserta didik membeli barang dagangan berupa pengetahuan dengan harapan agar dapat dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi. Peserta didik mengeluarkan uang sebagai investasi dan berharap mendapatkan keuntungan atas investasinya. Pendidikan sebagai sebuah investasi menempatkan peserta didik sebagai sumber daya manusia (human capital) sebagaimana material lainnya.

Menurut Mansour Fakih[9], pendidikan yang diselenggarakan oleh kapitalis hanya mereproduksi sistem kapitalis saja. Pendidikan sulit diharapkan memerankan perubahan. Impian untuk membeli pengetahuan agar dapat menjualnya kembali dengan harga yang lebih tinggi hanyalah ilusi. Ketidakseimbangan permintaan dan penawaran membuat murah harga tenaga kerja, karena calon pekerja dihadapkan pada melimpahnya calon tenaga kerja yang bersaing di pasar kerja. Permintaan pekerjaan jauh melampaui ketersediaan pekerjaan, maka pekerjaan menjadi barang langka dan mahal di pasar.

2. Ideologi Pendidikan Kritis

Pengaruh kuat Kapitalisme, memposisikan pengetahuan sebagai barang yang langka dan mahal yang hanya dimiliki oleh sekelompok orang pintar yang mempunyai uang. Seorang ilmuan mempunyai hak penuh atas pengetahuan dan mempunyai kedudukan sosial yang tinggi. Pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan kapitalis adalah pengetahuan yang elitis dan eksklusif. Pengetahuan tersebut pada dasarnya merupakan pengalaman sehari-hari (yang sebenarnya murah), tetapi dimonopoli dan dikemas ulang dalam bentuk lain sehingga menjadi langka dan mahal.

Dengan model seperti itu, disadari telah menghilangkan esensi pendidikan untuk memanusiakan manusia, yaitu manusia yang yang mempunyai kesadaran dan tanggung jawab baik secara individual maupun kolektif. Kesadaran  inilah yang melahirkan apa yang kemudian disebut pendidikan kritis.

Pendidikan kritis adalah pendidikan yang membangkitkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab individu dalam situasi sosialnya. Dengan pendidikan kritis orang dapat merasakan penindasan kapitalisme. Menurut Paulo Freire[10], pendidikan kritis membuat peserta merasa bodoh, memikirkan bagaimana sampai sedemikian bodohnya, dan mulai bersikap kritis. Pendidikan adalah aktivitas sosial yang mempunyai watak kemanusiaan. Pendidikan harus memupuk tanggung jawab sosial dan dijalankan secara sosial. Tanggung jawab guru tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik. Hubungan guru dan murid merupakan hubungan kemanusiaan. Guru dan murid mempunyai tanggung jawab untuk memperjuangkan nilai dalam pendidikan dalam hubungan yang setara dan tidak saling mendominasi. Menurut Jonathan Kozol[11], dalam pendidikan kritis, guru senantiasa belajar ketika sedang mengajar. Di sisi lain, murid dapat berbagi pengetahuan dengan sesamanya sambil belajar. Murid dapat menjadi guru yang mengajar ketika dia belajar.

Dalam pendidikan kritis, pengetahuan tidak menjadi monopoli orang pintar dan mempunyai uang untuk membeli. Pengetahuan adalah milik semua orang dan dapat diperoleh dengan mudah. Pengetahuan adalah pengalaman hidup sehari-hari yang dapat diperoleh hanya dengan mengalaminya.

Setiap orang dapat menjadi ilmuan dengan belajar dari pengalamannya. Menurut Gramsci[12], intelektual bukan dicirikan oleh aktivitas berpikir intrinsik, namun oleh fungsi yang dijalankan. Menurut Lebowitz[13], pengetahuan merupakan pengetahuan yang bersifat langsung tanpa mediasi uang. Pengetahuan merupakan milik publik. Pengetahuan harus dibagi-bagikan tanpa ada pembatasan. Usaha menjadikan pengetahuan menjadi hak milik pribadi dan sumber keuntungan pribadi bertentangan dengan konsep dan etos pengetahuan. Menurut Sunardi[14], tidak ada pendidik yang lebih baik kecuali pengalaman. Kita harus mengubah diri kita sendiri lewat dan atas nama pengalaman.

Dalam pendidikan kritis, pengetahuan berkembang secara sosial. Pengetahuan berkembang dalam aktivitas sosial dengan cara-cara sosial. Pengetahuan yang bersifat sosial adalah pengetahuan yang murah dan melimpah, milik publik, dan membuat orang dengan senang hati saling berbagi. Akibatnya terjadi kegiatan yang saling membelajarkan dan mengembangkan pengetahuan. Keadaan demikian membuat pengetahuan berkembang pesat.

Keberadaan pendidikan kritis dapat direnungkan dari kasus berikut. Ada orang berpendidikan tinggi, namun menganggur. Pengetahuan yang diperoleh di sekolah tidak dapat dimanfaatkan sehingga tidak dapat berbuat apa-apa sampai ada orang yang mau memberi pekerjaan dengan upah murah. Sebaliknya, ada orang berpendidikan rendah dan secara ekonomi terbatas, namun dia terus belajar dari pengalaman dan kehidupannya, dia dapat menjadi orang yang sukses. Dia tidak memperoleh pengalaman dari sekolah, tapi dari pengalaman kehidupannya yang dapat langsung dimanfaatkan untuk kehidupannya. Hal itu dapat terjadi karena banyak orang yang bersekolah tapi tidak belajar dan banyak orang yang belajar walaupun tidak bersekolah.

Sekolah memang mampu merancang dan menyelenggarakan pendidikan yang terencana dan sistematis dengan hasil yang terukur. Harus diakui bahwa sekolah merupakan lembaga yang kompeten menyelenggarakan pendidikan formal. Namun kapitalis seringkali menciptakan mitos-mitos bahwa pengetahuan hanya diperoleh dari sekolah. Hal itu mereduksi makna pendidikan sebagai proses berkehidupan. Pendidikan seharusnya menghargai bahwa pengetahuan dapat diperoleh dari seluruh kehidupan. Pembelajaran harus memberi kesempatan seluas mungkin untuk mengeksplorasi seluruh kehidupan sebagai pengalaman belajar. Dunia didudukan sebagai kelas belajar dan kurikulum harus mengakomodasi keterampilan hidup sehingga dapat dimanfaatkan dalam kehidupan.

Pemahaman dan semangat pendidikan kritis telah memompakan semangat “baru” ke dalam dunia pendidikan, terutama pendidikan yang berasaskan kebebasan berfikir. Persoalannya adalah, tepatkah  pengembangan pendidikan  demikian secara serta merta diimplementasikan dalam proses pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam?  Bukankah secara epistemologis, ilmu pengetahuan itu akan lebih tepat jika lahir dan berkembang dari suatu milieu tertentu termasuk  kebiasaan, nilai-nilai yang dimilikinya dan historisitasnya. “Mengimpor” suatu pengetahuan yang lahir dari milieu dan historisitas yang berbeda memungkinkan terjadinya ketidakcocokan dan dapat menimbulkan problem aksiologis ilmu pengetahuan yang dikembangkannya.

Pijakan ini mengarahkan pada permasalahan, jika  pendidikan kritis dianggap sebagai obat atas penyakit  pendidikan kapitalis, dapatkah dikembangkan suatu model pendidikan Islam kritis? Inilah fokus permasalahan mendasar yang ingin dikaji dalam tulisan ini.

3. Pendidikan Islam Kritis, Adakah?

Konsep filosifis pendidikan Islam berpangkal tolak pada sinergis hablumminalllah, hablumminannas dan hablumminal alam (sinergi hubungan dengan Allah, manusia dan alam) berdasar ajaran Islam. Allah SWT menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Dari fungsi inilah dapat diambil pola kependidikan Islam, sebagaimana kependidikan Allah dengan sifat rububiyyahNya terhadap manusia dan alam.[15]

Adapun ciri-ciri manusia berpredikat khalifah Allah adalah, pertama, terjun di tengah-tengah alam dan masyarakat sehingga dapat memahami Allah, manusia dan alam sekitar. Kedua, ia tidak dibentuk oleh lingkungannya melainkan dapat membentuk lingkungannya. Ketiga, mempunyai watak dan nilai mulia sebagai komponen fundamental dari eksistensinya. Keempat, mempunyai kesadaran dan sifat kreatif untuk menjadikan bumi sebagai syurga kedua.[16]

Dengan pijakan filosofis kependidikan Islam demikian maka, pendidikan Islam merupakan proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat. Pendidikan ini memusatkan perubahan tingkah laku manusia terutama pada pendidikan etika, yang menekankan aspek produktivitas dan kreativitas manusia dalam peran dan profesinya dalam kehidupan di masyarakat dan alam semesta.[17]

Bagaimanakah pendidikan Islam memposisikan pengetahuan? Pengetahuan dalam Islam sebagaimana termaktub dalam firman Allah, surat Ali Imran (3): 190 dan surat al-Alaq (96):1-2 membentang luas di langit dan bumi. Harus di baca dan dicari dengan Allah dan bersama Allah SWT yang menciptakan:“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian siang dan malam, terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang yang berakal”. Bacalah! Dengan menyebut nama Allah yang Menciptakan. 

Berpijak pada kedua ayat di atas, pengetahuan dalam Islam bersumber dari Allah, melalui berbagai proses keilmuan dan produk keilmuannya harus diabdikan untuk Allah SWT dan kemaslahatan manusia serta alam. Proses pencarian pengetahuan atau proses ilmiah dalam pendidikan Islam adalah proses kerja keras dan tiada henti. Hal ini didasarkan pada firman,  “Maka apabila engkau telah selesai dari suatu pekerjaan,(penelitian keilmuan) maka bersiaplah untuk bekerja keras kembali (urusan lainnya). Dan hanya kepada Rabb-Mulah engkau berharap”. QS. al Insyirah(94): 7-8.

Produk keilmuan yang dihasilkan dalam pendidikan Islam bukanlah milik pribadi melainkan diperuntukan bagi penciptaan kemaslahatan masyarakat. Demikian ditegaskan Hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani: “Perumpamaan orang yang menuntut ilmu lalu tidak mengajarkan, menyebarkan dan mengamalkannya adalah seperti orang yang menyimpan (menimbun) hartanya tapi tidak pernah membelanjakannya”. Hadits lain yang diriwayatkan oleh Abdul Hasan Ibnu Akhram dari Anas bin Malik: “Pelajarilah ilmu apapun yang kamu kehendaki, demi Allah, kalian tidak akan diberi pahala hanya dengan mengumpulkan ilmu sebelum kamu mengamalkannya”.

Dalam falsafah Jawa, ilmu iku kalakone kanthi laku. Berdasar falsafah tersebut, ilmu pengetahuan dapat diraih melalui pengalaman dan tindakan. Ilmu itu diperoleh melalui proses perjuangan yang sungguh-sungguh. Orang Jawa menyebutnya dengan ilmu titen. Ilmu titen adalah pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman niteni. Ilmu titen secara formal diperoleh dari usaha menyiapkan rencana tindakan, mencoba tindakan, mengamati dan mengevaluasi hasil dari akibat tindakan dan merenungkan keseluruhan tindakan untuk membuat rencana tindakan yang lebih baik.

Selanjutnya bagaimanakah sikap pembelajar terhadap ilmu pengetahuan? Adakah landasan pendidikan Islam kritis? Pendidikan Islam sebagaimana terkandung dalam makna ta’lim, menurut Ridlwan Nasir merupakan proses transformasi dan iternalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islami pada peserta didik melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrah manusia untuk mencapai keseimbangan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya. Dari pemahaman ini maka, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islami  bukanlah sekedar pengetahuan dan nilai-nilai tanpa hasil dari kritik dan analisis ilmiah.

Ilmu pengetahuan Islam dan juga nilai-nilai Islami tidak boleh  immune terhadap kritik ilmiah atau ghairu qabilin linnaqd, melainkan mempunyai keharusan untuk diuji secara terus-menerus melalui kajian ilmiah dari berbagai disiplin ilmu  agar dapat menghasilkan suatu pemikiran yang genuine Islam pada satu sisi dan aplikatif solutif untuk mengatasi persoalan masyarakat pada konteksnya.

Dari pijakan ini, model pendidikan kritis Nabi Ibrahim tentang mimpi menyembelih puteranya Ismail yaitu dengan menggunakan terma, Fandzur madza tara pada QS As-Shafat(37): 102 merupakan landasan pendidikan Islam kritis. “Maka tatkala anak itu sampai (dewasa) berusaha bersama-sama Ibrahim. Ibrahim berkata:” Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu?”

Pada ayat ini secara tegas memperlihatkan bagaimana proses pendidikan atas nilai keyakinan dan kepatuhan Nabi Ibrahim kepada Tuhan-Nya di ta’lim kan kepada anak didiknya (Ismail) secara dialogis dalam situasi proses yang tepat dan memberi kesempatan kepada Ismail untuk berfikir kritis. Ismail setelah proses itu, dengan mantap; Ia menjawab: “Hai Bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku  termasuk orang-orang yang sabar.

Pada QS al-Hujurat(49): 6, “Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Asbabun Nuzul ayat itu, diriwayatkan terkait dengan tugas Nabi kepada seseorang untuk mengambil sejumlah zakat pada bani al-Haris, namun seseorang itu belum sampai ke bani al-Haris mempunyai itikad lain dan kembali dengan mengabarkan bahwa bani al-Haris  tidak mau menyerahkan zakat dan bahkan mau membunuhnya. Berita itu, kontan menimbulkan kemarahan di kalangan sahabat dan berniat memerangi bani al-Haris. Namun Nabi kemudian mengutus utusan lain menemui bani al-Haris dan nyatalah bahwa utusan Nabi pertama tidak sampai ke al-Haris dan berita yang dibawa oleh utusan pertama benar-benar bohong. Telitilah dengan benar, atau tabayyun dengan demikian merupakan landasan pendidikan Islam kritis. Tabayyun tidak akan menjadi suatu sikap ilmiah anak didik kecuali melalui proses pendidikan Islam kritis.

Proses pendidikan Islam kritis berdasar landasan fandzur madza tara dan tabayyun dengan demikian merupakan suatu pendidikan yang dilakukan secara penuh kasih sayang, dialogis, terbuka dan “sejajar” dalam hal-hal tertentu, sehingga  pebelajar dapat mengamati, mencermati, mencoba melakukan tindakan, mengevaluasi, menguji dan melakukan refleksi untuk membuat perbaikan tindakan.

Dengan dua landasan ini, pendidikan Islam kritis tidak bermaksud mengabaikan ideologi pendidikan kritis, namun harus diposisikan bahwa idelogi pendidikan kritis merupakan turunan dari teori kritis yang dihasilkan sebagai kritis atas pahami Kapitalisme dan Positivisme. Ideologi pendidikan kritis harus diproporsionalkan dalam konteks kelahiran dan perkembangannya. Sebaliknya pendidikan Islam kritis yang berpijak pada ajaran al-Qur’an di atas dapat disimpulkan sementara akan lebih tepat untuk diaplikasikan dalam proses pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam.

 

C. Penutup

Temuan dua landasan pendidikan Islam kritis harus diakui belum merupakan suatu konsep pendidikan Islam kritis yang utuh. Pada dasarnya masih banyak ajaran-ajaran Islam yang mengandung semangat penelitian ilmiah guna mencapai suatu keilmuan yang dapat mendekati hakikat kebenaran. Tawaran ini, lebih merupakan  suatu kajian awal untuk melakukan kajian lebih lanjut tentang pendidikan Islam kritis.

Harus diakui bahwa adopsi dan implementasi ideologi pendidikan kritis  dalam proses pendidikan Islam akan mengalami permasalahan-permasalahan terutama pada aspek epistemologi dan aksiologi. Keilmuan-keilmuan yang dikembangkan  dalam proses pendidikan Islam  mempunyai karakteristik yang sangat berbeda dengan keilmuan-keilmuan yang dikembangkan baik dalam aura pendidikan Kapitalisme dan pendidikan kritis sebagai kritik atas positivisme. Meskipun harus diakui, kontribusi ideologi pendidikan kritis terutama pada aspek tujuan  mengembalikan kemanusiaan dalam pendidikan dan menciptakan tata kehidupan yang lebih baik terdapat kemiripan.

 

DAFTAR KUTIPAN

[1] Nurani Soyomukti. Metode pendidikan Marxis-sosialis. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 90
[2] Nurani Soyomukti. Metode pendidikan Marxis-sosialis, …h. 93
[3] Arif Budiman. Sistem perekonomian Pancasila dan ideologi ilmu sosial di Indonesia. (Jakarta : PT Gramedia, 1989), h. 8
[4] Paulo Freire. Pedagogi hati. Terjemahan oleh Widya Martaya.(Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2001), h. 27
[5] Miguel Escobar, dkk. Sekolah kapitalisme yang licik. Terjemahan oleh Mundi Rahayu. (Yogyakarta : LkiS, 1998), h. ix
[6] Paulo Freire. Pendidikan masyarakat kota. Terjemahan oleh Agung Prihantoro. (Yogyakarta : LkiS, 2008), h. x
[7] Paulo Freire, Ivan Illich, Erich Fromm, dkk. Menggugat pendidikan. Terjemahan oleh Omi Intan Naomi. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), h. 349
[8] Paulo Freire, Ivan Illich, Erich Fromm, dkk. Menggugat pendidikan,…, h. 520
[9] Roger Simon. Gagasa-gagasan politik Gramsci. Terjemahan oleh Kamdani dan Imam Baehaqi. (Yogyakarta : Kerja sama Insist dengan Pustaka Pelajar, 2001), h. xvii
[10] Paulo Freire. Pendidikan kaum tertindas. Terjemahan oleh Utomo Danandjaja dkk. (Jakarta : LP3ES, 1985), h. 2
[11] Paulo Freire. Pendidikan sebagai proses, surat-menyurat pedagogis dengan para pendidik Guinea-Bissau. Terjemahan oleh Agung Prihantoro. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), h. xi
[12] Roger Simon. Gagasa-gagasan politik Gramsci….., h. 141
[13] Michael A Lebowitz. Sosialisme sekarang juga. …., h. 85
[14] William A Smith. Conscientizacao tujuan pendidikan Paulo Freire. Terjemahan oleh Agung Prihantoro. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Read Book, 2001), h. vii
[15] M Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, h. 34
[16]Ibid., h. 37-38
[17] Ibid., h.55

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 Departemen Agama RI,  Al-Qur’an dan terjemahnya, 1992
Arif Budiman, Sistem perekonomian Pancasila dan ideologi ilmu sosial di Indonesia. (Jakarta: PT Gramedia, 1989)
Miguel Escobar, dkk. Sekolah kapitalisme yang licik. Terjemahan oleh Mundi Rahayu. (Yogyakarta : LKiS, 1998)
Paulo Freire, Pedagogi hati. Terjemahan oleh Widya Martaya. (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2001)
Paulo Freire, Pendidikan kaum tertindas. Terjemahan oleh Utomo Danandjaja dkk. (Jakarta : LP3ES, 1985)
Paulo Freire, Pendidikan masyarakat kota. Terjemahan oleh Agung Prihantoro. (Yogyakarta : LkiS, 2008)
Paulo Freire, Pendidikan sebagai proses, surat-menyurat pedagogis dengan para pendidik Guinea-Bissau. Terjemahan oleh Prihantoro. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000)
Paulo Freire, Ivan Illich, Erich Fromm, dkk. Menggugat pendidikan. Terjemahan oleh Omi Intan Naomi. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004)
HM Chabib Toha, Penyunting, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Fakultas Tabiyah IAIN Walisongo, 1996)
Irawan dan M Suparmoko, Ekonomika pembangunan. (Yogyakarta : BPFE, 1996)
Michael A Lebowitz, Sosialisme sekarang juga. Terjemahan oleh Darmawan. (Yogyakarta : Resist Book, 2009)
M Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Roger Simon, Gagasan-gagasan politik Gramsci. Terjemahan oleh Kamdani dan Imam Baehaqi. (Yogyakarta: Kerja sama Insist dengan Pustaka Pelajar, 2001)
William A Smith, Conscientizacao tujuan pendidikan Paulo Freire. Terjemahan oleh Agung Prihantoro. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Read Book, 2001)
Nurani Soyomukti, Metode pendidikan Marxis-sosialis. (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2008)

Paradigma Keilmuan IAIN Surakarta: Suatu Proposal

mudofir-ed

Oleh: Mudhofir Abdullah
(Rektor IAIN Surakarta Periode 2015-2019)

Merumuskan paradigma keilmuan bukanlah pekerjaan mudah. Diperlukan pikiran mendalam, berkeringat, bekerjasama, dan sharing ideas. Juga perlu melihat secara cermat, membaca ulang, dan membandingkan wawasan-wawasan yang tersedia dalam berbagai literatur, sejarah, dan fakta. Setelah semua itu didapat, masih diperlukan pekerjaan lain yaitu mengaitkannya dengan kenyataan-kenyataan modernitas, dunia praksis, globalitas, dan lokalitas. Mengapa hal ini perlu dilakukan? Menurut saya setidak-tidaknya ada lima alasan. Pertama, sebuah paradigma disusun untuk menjadi “pikiran dan tindakan bersama” atau dengan istilah lain way of life yang bersifat holistik, jangka panjang, dan mengikat. Kedua, paradigma harus menggambarkan tujuan bersama yang hendak diwujudkan di masa kini dan masa depan. Ketiga, paradigma mengandung visi dan misi sebuah komunitas atau organisasi. Keempat, paradigma harus mudah dipahami, diingat, dan menyederhanakan tingkat abstraksi pikiran ke dalam sebuah simbol, dan kelima, paradigma mewakili cita-cita bersama dengan tujuan-tujuan tertentu. Pembaca bisa menambahkan yang lainnya.

Dalam konteks IAIN Surakarta, paradigma harus mengartikulasikan gambaran menyeluruh tentang sumber dasar, visi-misi keilmuan, mandat, kehendak kuat, skala-skala prioritas, distingsi, ekselensi, dan ekspektasi-ekspektasi.[1] Berbeda dengan mandat keilmuan di perguruan tinggi non-PTKIN yang secara relatif “duniawiah/worldly”, PTKIN termasuk IAIN Surakarta harus memikul mandat dunia dan akhirat. Dunia dan akhirat adalah tugas yang maha luar biasa berat dilihat dari sudut ilmu pengetahuan modern. Ukuran-ukurannya pun relatif berbeda. Menilai keberhasilan PTKIN tidak cukup hanya dengan parameter-parameter BAN-PT, tetapi perlu ukuran-ukuran lain sehingga dapat menilai keberhasilan dalam makna akhirat. Inilah yang membuat paradigma-paradigma yang dikembangkan di PTKIN belum menunjukkan korelasinya dengan fakta-fakta, produktivitas, dan kontribusinya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Saya berpendapat bahwa paradigma keilmuan IAIN Surakarta harus meliputi tiga hubungan suci: Allah, kosmos, dan manusia. Fazlur Rahman dalam bukunya Major Themes of the Qur’an yang terbit tahun 1980 mengelaborasi tentang tiga tema besar yang merupakan tema pokok pembahasan al-Qur’an.[2] Sachiko Murata dalam bukunya the Tao of Islam juga menyebut tiga garis sudut di mana di titik puncak melukiskan Tuhan, dan dua sisinya melukiskan kosmos dan manusia.[3] Ibn Arabi menyebut Tuhan sebagai makrokosmos al ‘alam al kabir dan kosmos-manusia disebutnya sebagai al ‘alam al-shaghir atau mikrokosmos. Konsep “trilogi” seperti disebut di atas, menurut saya, mengartikulasikan sebuah “takdir” tentang tiga relasi otentik yang tidak boleh saling putus. Sumber-sumber sufi juga banyak membahas relasi Tuhan, kosmos, dan manusia sebagaimana didedahkan oleh Ibn ‘Arabi, Mulla Shadra, Ibn Shina, Jalaludin Rumi, dan lain-lainnya.[4]

Pendapat Tu Wei Ming juga perlu ditambahkan di sini. Dia menyatakan bahwa rusaknya lingkungan karena manusia telah memisahkan alam dari hubungan sakralnya dengan manusia dan Tuhan. Tu Wei Ming punya istilah sangat bagus yang ia sebut sebagai theo-antropokosmos.[5] Jadi, baik Fazlur Rahman, Sachiko Murata, Tu Wei Ming, dan para penulis sufi klasik seperti Ibn ‘Arabi, Mulla Shadra, dan lain-lain “bertemu” di titik tegas ide sakral tentang relasi trilogi suci. Perlu ditambahkan juga, dalam Islam dikenal trilogi lain, yakni: Allah, Abdullah, dan khalifatullah. Tiga konsep ini menyimbolkan suatu hubungan akrab dan berani yang satu sama lain harus terpelihara dengan baik. Secara teoritis dan konseptual, trilogi suci tersebut dapat diaplikasikan ke tataran praksis dengan cara menjabaroperasionalkan ke dalam bentuk yang lebih teknis. Baik melalui lembaga-lembaga pendidikan maupun melalui bentuk aktivitas sosial.

Dalam konteks sosial masyarakat kita, trilogi di atas bisa dijelaskan dengan cara mendeskripsikan varian-varian dari masing-masing entitas trilogi itu. Entitas Allah dapat diartikulasikan secara simbolik dengan fakultas atau program studi agama. Entitas kosmos direfleksikan oleh fakultas atau program studi sains atau natural sciences—yang di dalam wadah IAIN belum memperoleh bentuk. Sementara entitas manusia dilambangkan dengan fakultas atau prodi-prodi humaniora dan atau social sciences.Atau meminjam kategorisasi al-Ghazali, dia membagi ilmu yang bersumber insaniyyah dan sumber rabbaniyyah untuk membedakan yang prodi-prodi umum dan prodi-prodi agama.[6]Kategorisasi ini bukan dimaknai secara dikotomik yang memisahkan tiap entitas itu secara tegas, tapi dimaknai secara distingtif. Kata kuncinya bukan dikotomi tapi distingsi. Tapi harus diakui bahwa integrasi semua entitas itu tidak selamanya tepat. Misalnya natural sciences yang meliputi biologi, kimia, sains, dan fisika tidak selamanya tepat diintegrasikan dengan ilmu-ilmu agama. Hal ini demikian karena kebenaran sains yang ditemukan manusia bersifat relatif, sementara syari’ah bersifat total dan mutlak. Istilah yang tepat untuk ini adalah konsep interkoneksi—meminjam istilah Amin Abdullah. Kita hanya bisa menyusun interkoneksi antara ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu sosial, dan ilmu-ilmu humaniora.[7] Memang betul bahwa di dalam al-Qur’an banyak bicara soal sains, tetapi masih berupa konsep belum berupa ilmu pengetahuan. Karena itu, hal ini dapat disebut sebagai konsep al-Qur’an tentang sains.

Abdul Karim Soroush punya kategorisasi agama dan ilmu agama. Maksudnya, agama bersifat mutlak dalam arti syari’ah. Tapi ilmu agama bersifat relatif. Tafsir-tafsir agama sangat beragam, terus berubah, dan terus berlangsung secara terus-menerus sehingga sangat mungkin berbeda satu sama lain. Takdir ilmu adalah kedinamisan dan perubahan tiada henti. Dengan nada sama, Bernard Lewis punya tiga kategori untuk Islam. Dia membagi Islam ke dalam tiga dimensi: Islam sebagai agama, Islam yang telah ditafsirkan dari keduanya, dan Islam sebagaimana ada dalam bentuk peradaban. Yang disebut pertama bersifat murni dan mutlak. Yang disebut kedua merupakan tafsir-tafsir dari al-Qur’an dan hadist yang bentuknya ilmu fikih, kalam, filsafat, tasawuf, akhlak, dan lain-lain. Sementara yang disebut ketiga mengejawantah dalam bentuk sejarah, antropologi, seni, sosiologi, dan lain-lain. Kategorisasi Soroush dan Bernard Lewis dapat menjelaskan perlunya distingsi antara agama yang mutlak dan ilmu agama yang relatif. Islam dalam bentuk peradaban, misalnya, menunjukkan bahwa ia berasal dari akumulasi berbagai disiplin yang telah diproduksi umat manusia sepanjang sejarahnya. Dalam prosesnya, peradaban adalah hasil interaksi antar berbagai elemen melalui take and give.

Berbicara soal peradaban adalah berbicara soal bahan baku yang melahirkan dan yang menopang peradaban itu. Mengapa peradaban itu lahir, tumbuh, dan runtuh? Dengan cara apa peradaban dapat bertahan dalam desakan keras perubahan-perubahan? Ini harus menilik aspek-aspeknya secara lebih jauh. Secara historis dan arkeologis, sebuah bangsa dapat dibentuk oleh nilai-nilai agama. Hinduisme membentuk karakter bangsa India dan menentukan pola dasar pikiran dan tindakan warganya dalam sejarah panjangnya. Islam membentuk bangsa Arab dan menyemai arkeologi sejarah dan nilai-nilai sosialnya. Kristen dan warisan helenisme membentuk manusia Eropa dan Amerika. Selain itu, konfusiasme dan Taoisme membentuk watak dan etos kerja bangsa China, Korea, dan Jepang. Juga lima agama yang hidup di Nusantara membentuk struktur watak dan karakter manusia Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Apa artinya? Artinya adalah bahwa nilai-nilai agama, tradisi, dan norma-norma hukum dapat membentuk warna sebuah peradaban. Dan maju mundurnya suatu peradaban dapat ditentukan oleh jenis lembaga-lembaga pendidikan, sistem kepercayaan, serta tradisi panjang yang menjadi way of life-nya. Karena itu, dapat dikatakan bahwa kebangkitan dan keruntuhan suatu peradaban dapat dilihat dari hal-hal yang paling remeh. Misalnya ditandai oleh kualitas tidaknya sistem pengajaran, bentuk sekolah, cara berfikir, dan cara bertindak.

Patut dikutip pendapat Mohamed Abed al-Jabiri. Dia menyatakan bahwa sistem berfikir Arab yang dicirikan oleh tiga jenis yaitu: ‘irfani, bayani, dan burhani tidak lagi memadai  untuk menopang peradaban modern. Peradaban modern[8] memerlukan kecakapan-kecakapan teknis dan ini dilakukan dengan cara riset induktif, eksperimen, dan memakai tradisi ilmiah yang harus terus diuji. Peradaban Arab yang oleh Nashir Hamid Abu Zaid disebut sebagai “hadharat al-nash”—peradaban teks—sekarang tidak lagi efektif untuk menandingi riset-riset ilmiah sebagaimana ditemukan oleh manusia modern dengan temuan-temuan ilmiah yang sangat mengagumkan sejak abad modern lahir. Itulah sebabnya, sejumlah intelektual Arab mengorek kembali dasar-dasar pemikiran mereka sendiri guna menemukan kembali spirit peradaban.

Marshall G. Hudgson dalam bukunya the Venture of Islam dengan tepat menyatakan bahwa abad modern adalah abad teknik.[9] Ia dicirikan oleh kecakapan-kecakapan teknik yang membentuk teknikalisme. Ditemukannya metalurgi (ilmu tentang besi), mesin uap, jam mekanik, pesawat terbang, komputer, dan senjata-senjata militer modern telah mengubah wajah dunia—nyaris seluruhnya. Bahkan telah merambah ke luar angkasa yang sedikit banyak telah menguak rahasia-rahasia kosmos. Para penemunya yang sebagian besar dari Barat kemudian menjadi aset bangsa itu dalam merombak tatanan sosial dan budaya. Dari sinilah muncul industrialisai dengan temuan-temuan baru yang semuanya itu menjadi elemen penting bagi lahirnya modernisasi di abad ke-18. Modernisasi tidak lahir oleh dunia Muslim—meski umat Islam selama berabad-abad menguasai pemikiran dan ilmu pengetahuan, tapi oleh Barat Kristen. Ini, tentu saja, sebuah keterkejutan mengapa Islam mundur dan yang lainnya maju. Persis pernyataan Amir Syakib Arselan dengan pertanyaan pilu limadza ta’akhkharal muslimun, wataqaddamal akhar. Dengan modernisasi yang digelindingkan Barat Kristen, maka semua produk teknik menguasai pasar-pasar dunia dan mempercepat revolusi peradaban Barat di bidang-bidang sosial, ekonomi, perdagangan, pendidikan, dan teknologi.

Temuan teknik memang dapat memicu temuan-temuan lain dan mengubah wajah sosio-budaya dunia. Ditemukannya jam mekanik, misalnya, melepaskan manusia dari matahari dan bulan. Juga memungkinkan manusia menata hari, menghitung ulang jam, mendefinisikan upah dalam suatu waktu tertentu, dan lain-lain. Sebelumnya, waktu tidak terukur dalam parameter-parameter yang tegas. Kedatangan dan kepergian tidak bisa diprediksi secara tepat. Ini baru temuan jam mekanik. Belum lagi temuan pesawat terbang, telpon, internet, kedokteran, teknologi nano, dan lain-lain ternyata telah menjadi alat hegemoni suatu bangsa atas bangsa yang lain. Kini industri, militer, dan lembaga-lembaga pendidikan telah bekerjasama dalam menemukan inovasi-inovasi baru demi tujuan-tujuan ekonomi, pembangunan, dan dalam batas-batas tertentu penguasaan atas sumber daya alam serta manusia di dunia lain yang lebih lemah. Institusi-institusi pendidikan didesain untuk menghadapi tantangan-tantangan baru dengan seluruh peluang dan ancamannya. Institusi-institusi pendidikan telah dianggap sebagai proyek peradaban yang tidak boleh diabaikan dan ditelantarkan. Investasi besar-besaran ditanam untuk membiayai riset-riset, pengembangan sumber-sumber daya manusia, dan peningkatan kualitas hidup. Jadi, pembangunan peradaban hanya mungkin dimulai dengan peningkatan kualitas lembaga-lembaga pendidikannya.

Bagaimana dengan dunia pendidikan Islam? Pendidikan dunia Islam kurang efektif dan tidak didesain untuk pembangunan peradaban dunia secara andal.[10] Sebagian besarnya masih bersifat deduktif: mempelajari hadis dan Qur’an dengan metode menghafal; tidak mendorong nalar kritis; dikotomik; tidak efektif dan efisien; tidak mendorong riset-riset; kurang memerhatikan skala-skala prioritas berdasarkan kebutuhan-kebutuhan modern dan holistik; bersifat konservatif dan sering hanya memelihara “cagar budaya” ajaran-ajarn Islam; kurang berpihak ke sains dan teknologi; mudah menyerah; mudah curiga pada yang lain; dilanda konflik antar mazhab; secara politik tidak stabil; lemah secara ekonomi; lebih mementingkan akhirat; dan lain-lainnya.

Dengan struktur karakter semacam di atas, maka pendidikan Islam lebih menekankan proteksi dan konservasi, tapi kurang menekankan dimensi pembangunan. Padahal seharusnya peradaban Islam harus dibangun dengan, sekurang-kurangnya, tiga dimensi, yakni: protection, conservation, dan development. Ajaran-ajaran Islam tidak cukup hanya diproteksi dan dikonservasi. Tapi yang lebih penting adalah dikembangkan dengan cara-cara baru yang lebih metodologis, canggih, dan berkelanjutan. Pendidikan Islam juga tidak hanya merupakan artikulasi dari respons-respons atas gejala-gejala baru dunia, tetapi juga harus menciptakan masa depan dengan spiritual, sains, dan teknologi. Jika pendidikan Islam dikelola hanya untuk merespons dan merupakan reaksi-reaksi, maka ia akan terombang-ambing tanpa pernah tegak berdiri dengan kekuatannya sendiri.

Karena itu, pilihan-pilihan cerdas harus diambil. Visi srategis peradaban harus dibuat. Misalnya, merumuskan kembali pendidikan tinggi Islam yang mengacu pada nilai-nilai lama dan modern. Buka program-program studi yang memiliki relevansi pembangunan dan kecenderungan-kecenderungan global. Perbanyak prodi-prodi yang menciptakan profil demografi umat kearah teknik, sains, kedokteran, pertanian, industri, otomotif, teknologi pangan, dan semacamnya. Kemudian perkuat prodi-prodi itu dengan Islamic studies, sehingga pada jangka panjang akan membuat profil keahlian warganya ke tujuan yang mendukung peradaban. Profil lulusan akan menentukan angkatan kerja dan menentukan profil keahlian secara demografi. Jika profil demokrafi umat Islam hanya pada sebagian besar Islamic studies dan humaniora, maka tidak cukup mampu menopang peradaban modern yang ditandai oleh kecakapan teknik dan sains.

Kontribusi pendidikan Islam, termasuk pendidikan tingginya, dinilai sangat rendah terhadap pembangunan bangsa. Dengan anggaran yang besar ternyata belum bisa menyumbangkan peran-peran yang nyata dalam produktivitas bangsa. Misalnya dalam sumbangannya kepada human development index yang dicirikan oleh kualitas kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, dan pendapatan. Secara nasional output dan outcome pendidikan Islam belum menunjukkan kinerja yang memuaskan. Penilaian ini sangat masuk akal, tapi tidak adil. Tidak adil karena alat ukurnya adalah universitas-universitas yang memiliki prodi-prodi umum dan sangat dibutuhkan masyarakat serta pembangunan. Jika pendidikan adalah investasi ekonomi dan pembangunan fisik, maka kontribusi pendidikan Islam tidak atau kurang ada. Pendidikan Islam hanya menyumbang di bidang pembangunan mental dan spiritual. Pendidikan Islam belum dirasakan hadir kontribusinya karena tidak memiliki prodi-prodi “teknis” dan strategis bagi pembangunan bangsa dalam pengertian ekonomi.

Karena itu, untuk melejitkan kontribusi pendidikan Islam hanya mungkin dilakukan dengan menguniversitaskan STAIN dan IAIN. Lembaga universitas bisa memperbesar kapasitas peran dan mandat PTKIN dalam pembangunan bangsa. Namun, tantangannya tidak mudah dan sangat sulit untuk dipecahkan dalam hitungan dasawarsa. Perlu kekuatan politik untuk mengubah sejumlah Undang-Undang terkait pendidikan, politik anggaran, aturan-aturan hukum, dan lain-lainnya. Karena itu, transformasi IAIN ke UIN sebagaimana terjadi pada IAIN Jakarta, IAIN Yogyakarta, dan STAIN Malang menunjukkan nalar kritis menatap jaman modern ini. Kini ditunggu kiprah dan kontribusi nyata UIN-UIN itu kepada bangsa. Pemerintah pun harus adil dalam memberikan prodi-prodi umum kepada UIN-UIN termasuk di sisi anggarannya.

Sejauh ini, saya sangat memercayai tesis-tesis di atas. Jika tesis-tesis di atas dijalankan dengan secara konsisten, saya dengan penuh percaya diri dapat memprediksi bahwa masa depan peradaban Islam akan lebih terencana dan unggul.Saatnya dunia Islam berfikir strategis dan memberikan keteladanan bagi bangsa-bangsa Muslim yang berada di pinggir seperti Indonesia untuk lebih maju dan progresif merajut masa depannya secara lebuh berkualitas. Islam harus membuktikan diri mampu membentuk pola pikir dan etos kerja umat Islam Indonesia, sebagaimana Konfusiasme dan Taoisme mampu menopang peradaban China, Korea, dan Jepang. Juga Greco-Roman yang mampu melejitkan bangsa-bangsa Eropa dan Amerika menggenggam dunia ini.

Selanjutnya, PTKIN termasuk IAIN Surakarta harus dikembangkan dengan tujuan-tujuan pembangunan bangsa, di samping tujuan-tujuan pengembangan dakwah dan akademik. Jika prodi-prodi IAIN dibuka, maka harus pula memikirkan bagaimana para lulusannya kelak berkontribusi pada pembangunan bangsa. Kata kuncinya, prodi-prodi itu tidak hanya sekadar untuk pemenuhan pengajaran ajaran Islam, tapi juga untuk pemenuhan fungsi-fungsi pembangunan dan fungsi-fungsi produktivitas bangsa.

Penyelenggaraan pendidikan Islam sekali lagi bukan sekadar merawat “cagar budaya” ajaran-ajaran Islam, tapi yang lebih penting menciptakan daya saing lulusannya di hadapan bangsa, ASEAN, internasional, dan pasar-pasar kerja eksternal. Daya saing adalah istilah untuk menunjuk angkatan kerja andal, unggul, dan profesional di bidangnya. Ini berarti, pendidikan Islam tidak membuat ukuran-ukuran tersendiri yang terpisah dari kebutuhan-kebutuhan masyarakat bangsa. Meskipun tujuan pendidikan Islam untuk mencari kebahagiaan di dunia dan di akhirat, rumusannya harus tetap mengikuti tren perkembangan masyarakat pendidikan di tambah ukuran-ukuran Islam dalam konteks masyarakat modern.

Seringkali, pendidikan Islam diarahkan untuk memproduksi tradisi dan dogmatisme Islam dalam pengertian pan-Islamisme. Dalam arti mengarahkannya persis seperti pengajaran di Timur Tengah tanpa mengkontekskan dengan situasi-situasi lokalitas, yakni masyarakat Indonesia. Di atas telah dikemukakan kelemahan-kelemahan akar pikiran Arab oleh Mohamed Abed al-Jabiri dalam menopang peradaban Islam. Di sisi lain, Adonis atau Mohammed Said Ali juga menambahkan sejumlah kelemahan arkeologis nalar Arab dalam melihat masa depan. Adonis menganggap bahwa bagi bangsa Arab, masa lalu lebih otentik dibanding masa depan. Adonis menyebutnya dengan istilah tsubut—yang mapan dalam arti masa Nabi lebih utama dan menjadi ukuran yang menentukan kebaikan. Sementara yang tahawwul—yang berubah dan inovatif dianggap penyimpangan dari tsubut, karena itu tidak menjadi jalan yang harus ditempuh.[11] Dalam pemahaman saya, kritik nalar Arab oleh orang Arab sendiri menunjukkan bahwa umat Islam Indonesia harus memiliki arkeologi pemikiran sendiri dengan modifikasi-modifikasi yang perlu—tanpa harus membebek pada arkeologi pemikiran orang Arab.

Nah, dalam kerangka pemikiran di atas dapat ditegaskan bahwa ada tiga relasi fungsi dan tujuan paradigm keilmuan IAIN Surakarta, yakni: Islam-bangsa-dunia. IAIN Surakarta  dikembangkan atau diselenggarakan untuk selain mengabdi kepada Allah juga mengabdi untuk kepentingan pembangunan bangsa. Setelah itu, beralih ke sumbangan bagi dunia baik di bidang kemanusian, perdamaian, dialog peradaban, dan aksi-aksi pemihakan kepada pencegahan krisis lingkungan. Tapi titik tekannya pertama-tama diabdikan untuk kepentingan pembangunan bangsa. Dalam hal ini, prodi-prodi yang dibangun di IAIN Surakarta harus memerhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang Nasional. Ini perlu ditegaskan berulang-ulang bahwa IAIN Surakarta yang dibiayai oleh APBN bukan untuk mengabdi kepada Pan-Islamisme, tapi untuk membantu pembangunan bangsa Indonesia.

Selain itu, PTKIN dan pendidikan Islam pada umumnya harus juga berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini perlu ditegaskan agar penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi di PTKIN diarahkan untuk cinta Tanah Air, membela kepentingan nasional baik di bidang sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Karena itu, mengenali kesejarahan, kondisi-kondisi masyarakat, budaya-budaya, agama-agama yang beragam, dan bahkan kepedulian pada sumber-sumber daya manusia dan sumber-sumber alamnya sangat perlu dimasukkan ke dalam kurikulum.

Apa dasar pemikirannya? Telah diketahui umum bahwa bangsa Indonesia adalah negara yang sangat kaya sumber daya alam dan sumber daya manusianya. Namun justru banyak dieksploitasi oleh negara-negara kuat seperti Amerika, Jepang, China, Singapura, dan Korea. Tambang, minyak, emas, hutan, dan laut telah dikuras bukan untuk kesejahteraan rakyat tapi untuk menyumbang kemewahan negara-negara kaya melalui konsesi-konsesi yang tidak adil. Kita menjadi pasar bagi negara-negara lain yang justru tidak banyak memiliki sumber-sumber daya sekaya bangsa kita. Jika, sistem pendidikan nasional termasuk PTKIN tidak memberikan kesadaran tentang ini maka ke depan bangsa kita yang mayoritas Islam akan menjadi beban dunia. Perlahan tapi pasti, bangsa kita akan berjalan kearah kenistaan. Satu contoh gamblang adalah bahwa sebagai negara maritim, kita mengimpor garam dari luar.[12] Juga beras dan bahan-bahan baku lain seperti daging. Ironisnya lagi, mayoritas pencaharian bangsa Indonesia adalah petani, tapi lebih dari 60 persennya penerima raskin (beras untuk orang miskin).[13] Bukankah ini pertanda kurang berhasilnya sistem pendidikan kita dalam mengatasi problem-problem ril? Jika PTKIN tidak ingin melakukan dikotomi dalam pengembangan keilmuannya, maka problem-problem ril masyarakat adalah ujian yang sesungguhnya. Apa dampak dari integrasi dan interkoneksi ilmu bagi pembangunan bangsa? Ini pertanyaan bodoh tapi faktual.

PTKIN, termasuk IAIN Surakarta harus mengambil peran di bidang tersebut. IAIN Surakarta dengan bekerjasama dengan pihak-pihak terkait harus mengambil inisiatif untuk menyadarkan makna penting kurikulum yang berbasis pada kondisi-kondisi lokal, di samping tentu saja basis-basis Syari’ah. Mulai dari radikalisme agama, kerusakan lingkungan, ketidakadilan, diskriminasi SARA, dan lain-lain.

Setelah sejumlah argumen dikemukakan di atas dan ditambah telaah atas naskah-naskah yang dibuat oleh sejumlah intelektual tentang paradigma keilmuan—termasuk yang ditulis oleh intelektual IAIN Surakarta sendiri seperti Prof Usman Abubakar, Prof Nashruddin Baidan, Prof Rohmat, Nurisman, Zainul Abas, Toto Suharto, Ismail Yahya, dan lain-lainnya kini tiba untuk merumuskan paradigm keilmuan dalam bentuk simbol. Bagi saya simbol itu penting, meski banyak orang menganggap tidak penting. Leslie White, pernah menyatakan bahwa banyak orang rela mati atau berkorban hanya sebuah simbol. Peperangan di masa lalu juga banyak dipengaruhi oleh simbol-simbol yang dilecehkan. Simbol yang membentuk ideologi bahkan bekerja lebih nyata dan dalam banyak hal menjadi instumen perjuangan. Dalam Islam sendiri juga banyak simbol-simbol yang mengikat keyakinan-keyakinan umat. Rene Guenon intelektual berkebangsaan Prancis, misalnya, secara khusus mempelajari ilmu tentang simbol, terutama simbol-simbol dalam tradisi tasawuf dan sains. Tulisannya dibukukan dalam judul Symbol of Sacred Science.[14]

Simbol atau lambang paradigma keilmuan IAIN Surakarta berikut saya namai Relasi Trilogi Suci, yakni: tiga relasi suci antara Allah, kosmos, dan manusia yang menjadi dasar seluruh penyelenggaraan dan pengembangan Tridharma IAIN Surakarta.

gambar.1

Keterangan gambar:

  1. Lingkaran menunjukkan visi tawhid, rahmatan lil-alamin, dan holistik
  2. Tiga logos: Allah, Alam, dan Manusia menggambarkan tiga relasi suci (Relasi Trilogi Suci). Merupakan tema pokok al-Qur’an, relasi yang menjadi kajian semua ilmu. Allah berada di puncak melambangkan Sang Khaliq. Di sisi kiri kosmos yang merupakan wahana makluk hidup dan non-hidup berada. Di sisi kanan menggambarkan manusia sebagai Abdullah dan Khalifatullah.
  3. Buku terbuka ke atas melambangkan al-Qur’an, hadis, ilmu pengetahuan. Terbuka ke atas juga berarti bersifat dinamis, terus mengalir, dan tumbuh berkembang.
  4. Lingkaran putih bulat melambangkan integrasi dan interkoneksi. Semua ilmu pda dasarnya dari Allah. Dikaji melalui obyek kosmos dan manusia.
  5. Garis lengkung putih di bawah buku melambangkan “dedikasi’, amal shaleh, pengabdian, dan tindakan. Baik melalui penalaran deduktif maupun induktif. Melalui riset, pendidikan, dan pengabdian (Tridharma Perguruan Tinggi).
  6. Garis lengkung warna hijau daun menggambarkan kesejahteraan umat manusia dan lingkungan. Semua ilmu, pada dasarnya, harus berujung pada kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia dan lingkungan. Ilmu yang tidak mengabdi pada kesejahteraan umat manusia dan lingkungan dapat dianggap tidak berguna.
  7. Warna hijau pada tiap lingkaran menunjukkan kehidupan, pembangunan, kreativitas, dan keberlanjutan.

Lambang di atas, tentu saja, masih perlu disempurnakan. Secara ide dan intisari, tak ada beda dengan paradigm-paradigma keilmuan yang sudah ada. Bedanya terletak pada penegasan bahwa IAIN/UIN Surakarta mengembangkan ilmu-ilmu yang berfungsi penegasan kembali Relasi Trilogi Suci. Seyyed Hossein Nasr dan Tu Wei Ming menyebutnya theo-antropo-kosmis. Yakni, relasi Allah, kosmos, dan manusia. Dalam tesis argumen ini, merusak alam sama dengan inkar pada Allah dan manusia; Juga merusak manusia berarti pula merusak relasi Allah dan kosmos. Dengan demikian ada tiga visi yang hendak ditegakkan di muka bumi, yaitu: visi keislaman, visi kebangsaan/kemanusiaan, dan visi ekologis.

Pidato Rektor IAIN Surakarta pada Wisuda ke-32

Assalamu’alaikum. Wr. Wb

Dengan penuh kedalaman hati, marilah kita mengucapkan syukur alhamdulillah ke hadirat Allah SWT, yang atas rahmat dan karunianya telah memberikan kesempatan serta kesehatan kepada kita semua untuk hadir dalam Wisuda Sarjana dan Magister ke-32. Semoga Allah SWT., tetap membimbing dan meridhai segenap upaya kita dalam mewujudkan cita-cita bersama menjadikan IAIN Surakarta lebih baik lagi di masa-masa mendatang.

Wisuda ke-32 kali ini mengambil tema “Memantapkan Islamic Studies dalam Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”. Tema ini sengaja diambil untuk memberikan kesadaran bersama tentang tantangan dan peluang yang akan dihadapi masyarakat bangsa, khususnya IAIN Surakarta di era MEA. Persiapan dan langkah-langkah yang perlu harus dibuat agar kita tidak gamang mengambil peluang dan memainkan peran strategis. Kesiapan kita menentukan nasib lulusan IAIN Surakarta dalam ambil bagian di Era MEA tersebut.

Sejak Desember 2015, MEA sudah mulai berlangsung. Kini kita dibanjiri oleh arus barang dan jasa dari Asean secara lebih massif. Tak ada pilihan lain kecuali setiap kita menyiapkan seluruh perangkat yang memungkinkan kita mampu bersaing dengan bangsa-bangsa ASEAN baik di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community), pada dasarnya, sebuah kesepakatan negara-negara ASEAN untuk menyatukan pasar tunggal barang dan jasa dan basis produksi bersama.

IAIN Surakarta yang kini memiliki jumlah mahasiswa lebih dari 10 ribu punya tantangan besar untuk menghadapinya. Dengan 23 Program Studi dan lebih dari 90 persennya Islamic Studies, kita perlu berfikir besar dan futuristik tentang bagaimana agar prodi-prodi ini dapat tetap fungsional memainkan peran-peran strategis untuk bangsa serta masyarakat Asean. Islamic Studies adalah studi-studi keislaman yang berumur lebih dari 1400 tahun. Dalam usianya yang makin tua, Islamic Studies memerlukan pembaruan-pembaruan dan peningkatan mutu relevansinya. Modernitas dan globalitas mengubah hampir seluruh tatanan berfikir dan bertindak. Semuanya diarahkan pada efektifitas, efisiensi, dan inovasi. Bidang sains, teknologi, seni, ilmu-ilmu sosial dan humaniora telah berkembang dengan sangat cepatnya seiring dengan temuan-temuan ilmiah baru. Riset-riset dengan dana besar dan investasi besar telah mendorong manusia modern ke arah kemajuan nyaris tanpa batas. Tabir-tabir misteri alam semesta mulai terkuak—meski tidak seluruhnya. Arah risetnya bukan lagi di bumi, tetapi sudah keluar dari cangkang bumi berupa ruang angkasa, planet-planet, tata surya lain di luar tata surya kita. Bahkan sekelompok ilmuan telah lama mempersiapkan planet Mars sebagai koloni manusia di tahun 2030. Kejutan-kejutan kemajuan sains akan terus terjadi memenuhi berita-berita dunia dan bahkan masuk ke ruang-ruang kerja kita, rumah kita, sekolah-sekolah kita, bahkan ke tangan kita melalui telpon seluler.

Abad kita adalah abad ilmu pengetahuan. Segalanya serba cepat dan serba mudah. Potongan-potongan berita terus membanjiri fikiran kita melalui media sosial. Kita hampir dikontrol dan dikendalikan oleh potongan-potongan berita itu. Kita kehilangan kepribadian dan kehilangan fokus untuk sekadar merenungkan tentang makna hidup. Karena itu, kita hidup dengan ciri-ciri sangat kejam: yang cepat menggilas yang lambat dan yang besar merobohkan yang kecil—nyaris tanpa belas kasih. Dalam situasi semacam ini, kita secara tidak sadar masuk ke dalam masyarakat yang sakit dan bahkan menjadi pasien masyarakat modern dengan kebingungan-kebingungan. Karena itu, statistik kejahatan, kekerasan, perceraian, dan konflik meningkat tajam. Masyarakat modern telah melampaui kecepatan dalam segala hal, tetapi kelaparan dalam aspek batin dan ruhani. Juga krisis lingkungan, tak pelak, mengancam kelangsungan hidup kita di planet bumi berupa krisis energi, ledakan penduduk, krisis pangan, ancaman perang, konflik-konflik, dan lain-lainnya. Masa depan dunia adalah masa depan yang kian tidak pasti, jika tidak ada tindakan profetik manusia hari ini untuk memecahkannya bersama-sama melalui kerjasama global, termasuk ASEAN.

Nah, menyatunya masyarakat tunggal dan basis produksi bersama masyarakat ASEAN akan menambahkan problem-problem baru yang tidak ringan. Lembaga-lembaga agama akan diuji untuk mampu memberikan peranan dalam mengatasi problem-problem sosial tersebut. IAIN Surakarta dengan 90 persennya prodi Islamic Studies dapat memainkan peran itu. Caranya adalah, menurut saya, pertama mendekati Islamic Studies dengan pendekatan perspektif. Misalnya dengan perspektif kekinian yang dibutuhkan pasar modern. Kedua, mengintegrasikan ke dalam struktur kebutuhan-kebutuhan nasional dan ASEAN. Apa yang menjadi kebutuhan nasional dan ASEAN harus direbut oleh IAIN dengan merumuskan konsep-konsep utama Islamic Studies ke tataran praksis. Penyakit mental, stress, kejahatan, perceraian, krisis lingkungan, dan problem sosial lain yang merupakan ciri masyarakat modern bisa menjadi proyek garapan.

Memantapkan Islamic Studies dengan mengintegrasikannya ke dalam proses “konsumsi” dan “produksi” nasional, MEA bahkan global adalah merupakan keniscayaan tak terbantahkan. Dengan pendekatan perspektif, Islamic Studies bisa dioptimalkan sehabis-habisnya pada pembangunan bangsa, penguatan nilai moral dalam proses konsumsi-produksi (misalnya sertifikasi halal), eko-label (pelabelan pada semua produk sehingga memenuhi kualifikasi ramah lingkungan), dan penciptaan stabilitas bangsa. Harus diakui bahwa stabilitas politik nasional sangat tergantung pada stabilitas pemeluk antar dan intra agama. Islamic Studies telah banyak berkontribusi pada pandangan dan gerakan hidup toleransi, kesadaran demokrasi, penghormatan pada hak asasi manusia, dialog antar agama, dan lain-lainnya. Ini semua menjadi bahan baku bagi tumbuhnya stabilitas nasional. Hanya dengan stabilitas politik yang mantap, maka sebuah bangsa dapat melakukan pembangunan dan menyelenggarakan aktivitas ekonomi-budaya-politik secara aman. Stabilitas politik nasional suatu bangsa menjadi titik masuk bagi stabilitas suatu kawasan. Masyarakat Ekonomi ASEAN, karena itu, tak akan terselnggara jika negara-negara pesertanya masih diganggu oleh stabilitas politik yang kacau. Di sinilah peran Islamic Studies bisa dimainkan. Ini di satu sisi. Di sisi lainnya, masih banyak bidang garapan yang bisa dimasuki, misalnya, dengan memainkan peran agama-agama dalam merumuskan agenda-agenda aksi penanggulangan krisis lingkungan, penanganan konflik antar agama, pembangunan karakter, mendorong efektifitas revolusi mental, dan lain-lain.

Modernitas dengan seluruh dampak positif dan negatifnya, bukanlah era yang harus berlangsung tanpa kontrol. Ia harus dikendalikan melalui aturan-aturan hukum, penguatan peran agama, rekayasa sosial, dan penguatan etika berbasis kearifan-kearifan lokal setiap bangsa. Dengan peta masalah yang ada, peran Islamic Studies tidak akan mati. Ia bahkan dapat menjadi pilihan bila didorong ke arah kecanggihan pendekatan dan peningkatan mutu relevansinya dengan praksis kehidupan. Pada ujungnya, setiap konsep akan diuji oleh kemanfaatannya dalam membangun tata sosial yang adil, efektif, dan aman bagi ruang tumbuh kehidupan yang bermartabat sebagai Makhluk Allah SWT dan masyarakat dunia di muka bumi ini.

Akhirnya, atas nama Rektor, kami berharap IAIN Surakarta ini dapat berkontribusi lebih strategis lagi dalam menyediakan lulusan-lulusan yang unggul dan berdaya saing tinggi di pasar-pasar nasional dan ASEAN—dan tentunya di pasar internasional. IAIN Surakarta tidak buta-tuli menghadapi gemuruh perubahan sosial yang begitu cepat. Kami berfikir besar dan bertindak besar sesuai dengan kemampuan yang kami miliki. Setiap potensi yang dimiliki IAIN telah dikerahkan untuk menghadapi tantangan dan menangkap setiap peluang. Pada merekalah IAIN Surakarta ini sangat bergantung. Selain itu, kepercayaan masyarakat pada IAIN, pemerintah, dan semua pihak yang peduli pada IAIN adalah bahan-bahan baku yang sangat penting untuk mendorong IAIN melangkah lebih baik lagi di masa kini dan masa depan. Semoga Allah swt selalu mengiring langkah kita semua.

Yang terakhir, kami mengucapkan selamat dan sukses kepada seluruh wisudawan-wisudawati beserta para orang tua yang telah menyelesaikan studi di IAIN Surakarta. Secara khusus, kami juga menyampaikan selamat dan sukses kepada wisudawan-wisudawati terbaik yang telah meraih prestasi. Semoga prestasi-prestasi itu melicinkan jalan bagi tahapan hidup berikutnya di masa depan. Semoga Allah swt selalu mengiringi dan meridhai langkah kita. Amin.

Wallahu yaqulul haq wa huwa yahdis sabil.

Wassalamu’alaikum wr. Wb.

Pidato Rektor IAIN Surakarta pada Wisuda ke-32

 

Dengan penuh kedalaman hati, marilah kita mengucapkan syukur alhamdulillah ke hadirat Allah SWT., yang atas rahmat dan karunianya telah memberikan kesempatan serta kesehatan kepada kita semua untuk hadir dalam Wisuda Sarjana dan Magister ke-32. Semoga Allah SWT., tetap membimbing dan meridhai segenap upaya kita dalam mewujudkan cita-cita bersama menjadikan IAIN Surakarta lebih baik lagi di masa-masa mendatang.

Wisuda ke-32 kali ini mengambil tema “Memantapkan Islamic Studies dalam Era Masyarakat Ekonomi Asean”. Tema ini sengaja diambil untuk memberikan kesadaran bersama tentang tantangan dan peluang yang akan dihadapi masyarakat bangsa, khususnya IAIN Surakarta di era MEA. Persiapan dan langkah-langkah yang perlu harus dibuat agar kita tidak gamang mengambil peluang dan memainkan peran strategis. Kesiapan kita menentukan nasib lulusan IAIN Surakarta dalam ambil bagian di Era MEA tersebut.

Sejak Desember 2015, MEA sudah mulai berlangsung. Kini kita dibanjiri oleh arus barang dan jasa dari Asean secara lebih massif. Tak ada pilihan lain kecuali setiap kita menyiapkan seluruh perangkat yang memungkinkan kita mampu bersaing dengan bangsa-bangsa ASEAN baik di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community), pada dasarnya, sebuah kesepakatan negara-negara ASEAN untuk menyatukan pasar tunggal barang dan jasa dan basis produksi bersama.

IAIN Surakarta yang kini memiliki jumlah mahasiswa lebih dari 10 ribu punya tantangan besar untuk menghadapinya. Dengan 23 Program Studi dan lebih dari 90 persennya Islamic Studies, kita perlu berfikir besar dan futuristik tentang bagaimana agar prodi-prodi ini dapat tetap fungsional memainkan peran-peran strategis untuk bangsa serta masyarakat Asean. Islamic Studies adalah studi-studi keislaman yang berumur lebih dari 1400 tahun. Dalam usianya yang makin tua, Islamic Studies memerlukan pembaruan-pembaruan dan peningkatan mutu relevansinya. Modernitas dan globalitas mengubah hampir seluruh tatanan berfikir dan bertindak. Semuanya diarahkan pada efektifitas, efisiensi, dan inovasi. Bidang sains, teknologi, seni, ilmu-ilmu sosial dan humaniora telah berkembang dengan sangat cepatnya seiring dengan temuan-temuan ilmiah baru. Riset-riset dengan dana besar dan investasi besar telah mendorong manusia modern ke arah kemajuan nyaris tanpa batas. Tabir-tabir misteri alam semesta mulai terkuak—meski tidak seluruhnya. Arah risetnya bukan lagi di bumi, tetapi sudah keluar dari cangkang bumi berupa ruang angkasa, planet-planet, tata surya lain di luar tata surya kita. Bahkan sekelompok ilmuan telah lama mempersiapkan planet Mars sebagai koloni manusia di tahun 2030. Kejutan-kejutan kemajuan sains akan terus terjadi memenuhi berita-berita dunia dan bahkan masuk ke ruang-ruang kerja kita, rumah kita, sekolah-sekolah kita, bahkan ke tangan kita melalui telpon seluler.

Abad kita adalah abad ilmu pengetahuan. Segalanya serba cepat dan serba mudah. Potongan-potongan berita terus membanjiri fikiran kita melalui media sosial. Kita hampir dikontrol dan dikendalikan oleh potongan-potongan berita itu. Kita kehilangan kepribadian dan kehilangan fokus untuk sekadar merenungkan tentang makna hidup. Karena itu, kita hidup dengan ciri-ciri sangat kejam: yang cepat menggilas yang lambat dan yang besar merobohkan yang kecil—nyaris tanpa belas kasih. Dalam situasi semacam ini, kita secara tidak sadar masuk ke dalam masyarakat yang sakit dan bahkan menjadi pasien masyarakat modern dengan kebingungan-kebingungan. Karena itu, statistik kejahatan, kekerasan, perceraian, dan konflik meningkat tajam. Masyarakat modern telah melampaui kecepatan dalam segala hal, tetapi kelaparan dalam aspek batin dan ruhani. Juga krisis lingkungan, tak pelak, mengancam kelangsungan hidup kita di planet bumi berupa krisis energi, ledakan penduduk, krisis pangan, ancaman perang, konflik-konflik, dan lain-lainnya. Masa depan dunia adalah masa depan yang kian tidak pasti, jika tidak ada tindakan profetik manusia hari ini untuk memecahkannya bersama-sama melalui kerjasama global, termasuk ASEAN.

Nah, menyatunya masyarakat tunggal dan basis produksi bersama masyarakat ASEANakan menambahkan problem-problem baru yang tidak ringan. Lembaga-lembaga agama akan diuji untuk mampu memberikan peranan dalam mengatasi problem-problem sosial tersebut. IAIN Surakarta dengan 90 persennya prodi Islamic Studies dapat memainkan peran itu. Caranya adalah, menurut saya, pertama mendekati Islamic Studies dengan pendekatan perspektif. Misalnya dengan perspektif kekinian yang dibutuhkan pasar modern. Kedua, mengintegrasikan ke dalam struktur kebutuhan-kebutuhan nasional dan ASEAN. Apa yang menjadi kebutuhan nasional dan ASEAN harus direbut oleh IAIN dengan merumuskan konsep-konsep utama Islamic Studies ke tataran praksis. Penyakit mental, stress, kejahatan, perceraian, krisis lingkungan, dan problem sosial lain yang merupakan ciri masyarakat modern bisa menjadi proyek garapan.

Memantapkan Islamic Studies dengan mengintegrasikannya ke dalam proses “konsumsi” dan “produksi” nasional, MEA bahkan global adalah merupakan keniscayaan tak terbantahkan. Dengan pendekatan perspektif, Islamic Studies bisa dioptimalkan sehabis-habisnya pada pembangunan bangsa, penguatan nilai moral dalam proses konsumsi-produksi (misalnya sertifikasi halal), eko-label (pelabelan pada semua produk sehingga memenuhi kualifikasi ramah lingkungan), dan penciptaan stabilitas bangsa. Harus diakui bahwa stabilitas politik nasional sangat tergantung pada stabilitas pemeluk antar dan intra agama. Islamic Studies telah banyak berkontribusi pada pandangan dan gerakan hidup toleransi, kesadaran demokrasi, penghormatan pada hak asasi manusia, dialog antar agama, dan lain-lainnya. Ini semua menjadi bahan baku bagi tumbuhnya stabilitas nasional. Hanya dengan stabilitas politik yang mantap, maka sebuah bangsa dapat melakukan pembangunan dan menyelenggarakan aktivitas ekonomi-budaya-politik secara aman. Stabilitas politik nasional suatu bangsa menjadi titik masuk bagi stabilitas suatu kawasan. Masyarakat Ekonomi ASEAN, karena itu, tak akan terselnggara jika negara-negara pesertanya masih diganggu oleh stabilitas politik yang kacau. Di sinilah peran Islamic Studies bisa dimainkan. Ini di satu sisi. Di sisi lainnya, masih banyak bidang garapan yang bisa dimasuki, misalnya, dengan memainkan peran agama-agama dalam merumuskan agenda-agenda aksi penanggulangan krisis lingkungan, penanganan konflik antar agama, pembangunan karakter, mendorong efektifitas revolusi mental, dan lain-lain.

Modernitas dengan seluruh dampak positif dan negatifnya, bukanlah era yang harus berlangsung tanpa kontrol. Ia harus dikendalikan melalui aturan-aturan hukum, penguatan peran agama, rekayasa sosial, dan penguatan etika berbasis kearifan-kearifan lokal setiap bangsa. Dengan peta masalah yang ada, peran Islamic Studies tidak akan mati. Ia bahkan dapat menjadi pilihan bila didorong ke arah kecanggihan pendekatan dan peningkatan mutu relevansinya dengan praksis kehidupan. Pada ujungnya, setiap konsep akan diuji oleh kemanfaatannya dalam membangun tata sosial yang adil, efektif, dan aman bagi ruang tumbuh kehidupan yang bermartabat sebagai Makhluk Allah swt dan masyarakat dunia di muka bumi ini.

Akhirnya, atas nama Rektor, kami berharap IAIN Surakarta ini dapat berkontribusi lebih strategis lagi dalam menyediakan lulusan-lulusan yang unggul dan berdaya saing tinggi di pasar-pasar nasional dan ASEAN—dan tentunya di pasar internasional. IAIN Surakarta tidak buta-tuli menghadapi gemuruh perubahan sosial yang begitu cepat. Kami berfikir besar dan bertindak besar sesuai dengan kemampuan yang kami miliki. Setiap potensi yang dimiliki IAIN telah dikerahkan untuk menghadapi tantangan dan menangkap setiap peluang. Pada merekalah IAIN Surakarta ini sangat bergantung. Selain itu, kepercayaan masyarakat pada IAIN, pemerintah, dan semua pihak yang peduli pada IAIN adalah bahan-bahan baku yang sangat penting untuk mendorong IAIN melangkah lebih baik lagi di masa kini dan masa depan. Semoga Allah swt selalu mengiring langkah kita semua.

Yang terakhir, kami mengucapkan selamat dan sukses kepada seluruh wisudawan-wisudawati beserta para orang tua yang telah menyelesaikan studi di IAIN Surakarta. Secara khusus, kami juga menyampaikan selamat dan sukses kepada wisudawan-wisudawati terbaik yang telah meraih prestasi. Semoga prestasi-prestasi itu melicinkan jalan bagi tahapan hidup berikutnya di masa depan. Semoga Allah swt selalu mengiringi dan meridhai langkah kita. Amin.

Wallhu yaqulul haq wa huwa yahdis sabil.

Wassalamu’alaikum wr. Wb.

Surakarta, 1 April 2016

Rektor,

 

Dr. Mudofir Abdullah, S.Ag., M.Pd.

ISLAM KEJAWEN (Agama dalam Kesejarahan Kultur Lokal)

Dr. Syamsul Bakri, M.Ag edit

Oleh: Dr. Syamsul Bakri, M.Ag

(Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama)

Kajian Islam dan kebudayaan Nusantara telah menjadi trend baru dalam ranah studi Islam, baik yang dikembangkan di PTKIN, termasuk di IAIN Surakarta, maupun di Islamic Center, Organisasi Kegamaan, serta Litbang Kemenag RI. Salah satu varian kajian Islam Nusantara adalah Islam Kejawen.

Islam Kejawen secara sosio-kultural adalah merupakan sub kultur dan bagian dari budaya Jawa. Kebudayaan Jawa sendiri dalam pengertian yang lebih luas meliputi sub kultur-sub kultur yang ada di tanah Jawa, seperti budaya Pesisiran (Pantura), Banyumasan, dan budaya Nagari Agung. Istilah tanah Jawa dipakai untuk tidak menyebut pulau Jawa karena di pulau Jawa ada budaya-budaya yang bukan termasuk dalam sub budaya Jawa seperti budaya Sunda (Jawa Barat) dan Betawi (Jakarta). Istilah Kejawen dipakai oleh masyarakat untuk menyebut budaya dan tradisi di eks kerajaan Mataram Islam baik yang berada di Yogyakarta (Kasultanan dan Pakualaman) maupun Surakarta (Kasunanan dan Mangkunegaran).

Dari kedua wilayah inilah maka kemudian tradisi Kejawen berkembang. Istilah Islam dipakai dalam tradisi Kejawen sebagai identitas tersendiri yang berbeda dengan identitas Islam puritan maupun identitas Jawa. Islam Kejawen adalah agama Islam yang telah beradaptasi dengan kultur dan tradisi Nagari Agung yang kemudian dapat menciptakan sebuah identitas penggabungan antara budaya Jawa dan Islam menjadi religiusitas Islam dengan warna Jawa. Budaya Islam Kejawen merupakan bentuk sinkretisme firman suci dengan kultur lokal sehingga Islam Kejawen merupakan salah satu bentuk fenomena keberagamaan yang sarat dengan muatan muatan tradisi religius yang bercorak mistis. Warna mistik Islam dalam kultur Islam Kejawen begitu kental dalam fenomena keberagamaan masyarakat Jawa. Ini tidak bisa dilepaskan dari peranan para Wali era Demak dan sesudahnya dalam menyebarkan dakwah islam secara kultural.

Berdirinya Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa merupkan realitas politik di mana politik Jawa Islam telah dapat menggeser kekuatan politik Jawa-Hindu Majapahit. Kerajaan Islam Demak merupakan simbol berdirinya kekuatan sosial-politik Islam pertama di Jawa yng menjadi titik peralihan sekaligus masa transisi dari masa Hindu ke masa Kewalen (Kewalian). Demak diakui mampu menyebarkan Islam secara kultural yang ditandai dengan kemampuan para wali dalam mengadaptasikan agama dengan budaya lokal (Jawa).

Kendati umur kerajaan Demak tidak berumur panjang yang kemudian pusat kekuasaan berpindah ke Pajang (Kartasura), namun pondasi dakwah kultural yang telah ditanamkan oleh para Wali dan da’i era Demak tidak pernah berhenti. Pasca kekuasaan Demak, dakwah kultural dilanjutkan oleh para pimpinan dan ulama di kerajaan Pajang. Begitu juga pada era Mataram Islam perpaduan dan adaptasi kultural Islam dengan budaya lokal semakin kental sehingga corak kultur keberagamaaan ini lebih dikenal dengan sebutan Islam Kejawen.

Dari perspektif teologis, Islam sebagai agama samawi dimaksudkan sebagai petunjuk manusia dan sebagai rahmat bagi seru sekalian alam. Berangkat dari sistem keyakinan ini maka umat Islam meyakini kewajiban menyebarluaskan misi di masyaraikat untuk mencapai kebaikan universal dan terciptanya tatanan hidup masyarakat yang berbudaya dan berperadaban. Artinya bagaimana nilai-nilai luhur agama itu termanifestasi dalam realitas kehidupan tanpa harus dibarengi dengan gaya puritan.

Yang menjadi persoalan adalah bagaimana ajaran agama dapat bergumul dengan budaya lokal. Dalam penyebaran Islam, mesti banyak tantangan-tantangan yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lainnya disebabkan perbedaan kultur masyarakat yang berbeda. Di Jawa, tantangan-tantangan muncul dari tradisi mistik Jawa dan budaya Jawa-Hindu. Namun demikian, atas kepekaan intelektual dan kultural para Wali, Islam dihadirkan di Jawa dengan wajah yang santun, adaptif dan tidak konfrontatif dengan budaya Kejawen asli maupun Jawa-Hindu. Islam dimunculkan dengan metode adaptasi kultural sehingga secara sosiologis akan lebih mudah diterima masyarakat Jawa. Dengan menunjuk fakta historis demikian, maka dakwah Wali dalam pribumisasi Islam dianggap berhasil karena Islam berkembang pesat di Jawa secara alamiah dan melalui proses kultural yang kompromis.

Pada masa Kasultanan Mataram Islam, telah muncul buku-buku keagamaan bernaskah Jawa, baik yang merupakan gubahan dari tulisan-tulisan para Sufi dari tanah Sumatra seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Nuruddin Ar-Raniri dan Abdul Rauf Sinkel maupun buku-buku (kitab) dan tulisan-tulisan karya para Wali di Jawa. Prestasi yang cukup gemilang dalam proses pribumisasi Islam Jawa adalah kemampuan para da’i dan spiritualis Islam dalam mengkombinasikan bukan saja agama dengan budaya lokal tetapi juga antara corak tasawuf falsafi dari Sumatra dengan corak tasawuf ‘amali dari para Wali. Dari kombinasi dan akulturasi beberapa kultur inilah maka kemudian penyebaran Islam di Jawa lebih diwarnai dengan nuansa akhlaq-tasawuf dengan simbol-simbol Jawa.

Warna budaya Jawa makin mengental ketika Kasultanan Mataram terpecah menjadi 2 yaitu: Kerajaan Yogjakarta dan Kerajaan Surakarta. Pasca desentralisasi kekuasaan politik Jawa-Islam inilah maka para pimpinan dan penasehat kerajaan dapat lebih menfokuskan perhatian pada aspek budaya. Era antusiasme politik yang dimulai pada masa Kerajaan Islam Demak sebagai proses identifikasi diri dalam membedakannya dengan Budaya Jawa-Hindu (Majapahit) telah mengalami pergeseran yang begitu berarti pada era desentralisasi politik Islam Mataram. Diakui bahwa kedua kerajaan eks-Mataram Islam yaitu kerajaan di Yogjakarta dan Surakarta yang dikenal dengan Nagari Agung memiliki andil yang cukup besar dalam mengembangkan Islam dalam kerangka budaya Jawa.

Setelah kerajaan eks-Mataram di Yogjakarta pecah menjadi dua yaitu Kasultanan dan Pakualaman dan kerajaan di Surakarta pecah menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran pada era inilah antusiasme politik telah bergeser ke antusiame kultural. Kewiabawaan Nagari yang sebelumnya sarat dengan muatan simbol-simbol politik sudah bergeser ke persoalan pengembangan budaya. Proses identifikasi kultural sangat mencolok pada era ini. Bahkan perhatian utama sudah dipusatkan pada pengembangan kerohanian Islam Jawa (Mistisisme Islam Jawa) baik secara intelektual maupun secara kultural.

Sejak saat inilah budaya Islam di Jawa yang lebih dikenal dengan mistisisme Islam Jawa yang sarat dengan muatan sufistik mulai berkembang pesat. Buku-buku (Serat) Jawa Kuno dengan bahasa Kawi dan Sansekerta, kitab-kitab berbahasa Melayu dengan tulisan Arab (Arab Melayu) serta kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Arab dari Timur tengah mulai digubah dalam bahasa Jawa dengan diadakan adaptasi seperlunya terhadap alam pikiran Jawa tanpa kehilangan substansinya. Perpaduan dari berbagai sentral budaya ini telah menimbulkan karya-karya kreatif baru yang memperkaya khazanah sekaligus pengembang budaya Islam Kejawen. Serat Centini ayang ditulis oleh Yosodipuro II, Ronggo Sutrasno dan R. Ng. Ronggowarsito sangat mewarnai kesusastraan Islam Kejawen, tentunya juga kitab-kitab dan sastra-sastra karya para Wali. Begitu juga Serat Wirid Hidayat Jati karya R. Ng. Ronggowarsito, Serat Wulangreh karya Pakubuwono IV dan Serta Wedhatama karya KGPAA Mangkoenegoro IV menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam khazanah pemikiran dan kultur Islam Kejawen.

 

Corak Khas Islam Kejawen

Budaya Jawa yang pada mulanya bercorak animistik dan hinduistik mulai berubah warna sejak zaman kewalen (ke-wali-an, zaman wali). Kendati terjadi perubahan corak dan muatan namun substansi mistisisme dan etika Jawa tetap eksis pada zaman kewalen, bahkan para Wali tidak bersikap konfrontatif terhadap budaya lokal yang ada. Sikap adaptif dan kompromis para wali dan da’i di era Kasultanan Demak ini merupakan cikal bakal yang sekaligus menjadi corak khas Islam Jawa. Fondasi paradigma dakwah kultural era kerajaan Demak ini dilanjutkan Kerajaan Pajang, kemudian Mataram, dan kemudian puncak eksistensi kulturalnya tampak pada zaman kekuasaan politik di Surakarta dan Yogjakarta. Corak utama yang dikembangkan dalam mistisisme Islam jawa adalah tasawuf-akhlaqiyah dan laku-laku mistisisme.

Unsur tasawuf-falsafi dapat ditemukan dalam Serat Wirid Hidayat Jati terutama yang menyangkut “Martabat Tujuh” dalam proses emanasi (ta’ayun). Sedangkan laku-laku mistik dan jenjang perjalanan spiritualitas dapat diketemukan dalam serat Centini. Ini adalah sekedar contoh kecil dari adanya hibryd of cultute (pencangkokan budaya) dari berbagai tradisi yang kemudian memunculkan karya-karya intelektual dan sastra yang menakjubkan dalam khazanah pemikiran mistisisme Islam Jawa.

Dalam kitab Wedhatama, juga terdapat ajaran-ajaran sufisme yang telah dikombinasikan dengan ruang lingkup budaya Jawa. Di antara indikasi itu adalah inti ajaran yang ditekankan dalam Serat ini yaitu ajaran penyembahan (ritual) empat tingkat (sembah catur). Istilah sembah catur ini pada dasarnya berasal dari ajaran tasawuf Islam klasik era kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad di mana penekanan terhadap tingkatan ilmu yaitu syari’at, (ritual badani-lahiriah, fikih), thariqat (ritual bathiniyah, perjalanan mistis), hakikat (intisari kosmos, realitas hakiki, kenyataan tentang kebenaran), dan  Ma’rifat (pengenalan langsung tanpa perantara) begitu penting bagi para penempuh laku spiritual. Nampak bahwa Mangkoenagoro IV membungkus tasawuf dalam konteks kultur Jawa.

Sebelumnya, pada era Demak para Wali telah memulai melakukan penggubahan-penggubahan. Gubahan-gubahan dan penggantian simbol-simbol dan nama Hindu ke dalam simbol Islam khas Jawa sangat mewarnai corak fundamen Islam Kejawen yang sampai saat ini dapat dilihat dalam realitas kehidupan. Budaya pewayangan adalah salah satu indukasi sekaligus kehebatan para Wali dalam melakukan adaptasi kultural Islam dalam konteks Jawa.

Istilah Jimat Kalimasada yang menjadi Jimat Puntadewa, Sang Tetua Pandawa yang sekaligus Raja Amarta adalah merupakan karya kreatif Wali dalam adaptasi kultural. Kalimasada adalah logat Jawa yang berunsur Arab yaitu dari istilah kalimah syahadah. Nama Hindu Arjuna digubah dengan nama Arab-Jawa menjadi Janaka yang berasal dari sebutan jannatuka (surgamu). Nama Bima digubah menjadi Warkudara yang berasal dari istilah wara’a (kehati-hatian, salah satu maqam dalam tasawuf). Begitu juga Semar dari Asmar, Petruk dari Fatruk, Togok dari Thoghut dan sebagainya.

Begitu juga para Wali juga mampu menciptakan karya-karya kreatif dan estetik seperti lagu Ilir-Ilir (karya Sunan Kalijaga) sebagai lagu khas dalam berdakwah sekaligus menghibur. Sabda Pandhita Ratu yang sekarang banyak mengilhami cerita legendaris nasional adalah ajaran dalam kehidupan sosial-politik karya Sunan Bonang. Masih banyak lagi simbol-simbol yang diciptakan para Wali dalam penyebaran Islam deengan jalan menjadikan adat istiadat, tradisi dan kultur Jawa sebagai sesuatu yang tidak perlu dikonfrontir.

Epistemologi Islam Kejawen

Sebagaimana mistisisme Islam pada umumnya, Islam Kejawen yang bercorak etis-mistis ini menjadikan metode intuisionisme yaitu mencapai kebenaran dan melihat realitas dengan intuisi (dzauq, wijdan, hati, perasaan terdalam). Dalam Islam Kejawen, laku-laku spiritual dan etika sosial diperoleh melalui perenungan dan uzlah (pertapaan) sehingga cahaya ke-Tuhan-an dapat menyinari hati sehingga dapat melihat dan menemukan persoalan secara jernih. Mistisisme Islam Kejawen merupakan budaya mistik yang mampu menciptakan konsepsi dan ajaran ontologi dan metafisika umum baik yang terkait dengan persoalan ke-Tuhan-an(teologi), kemanusiaan (antropologi metafisika) maupun alam (kosmologi). Begitu juga penciptaan metode thariqat (jalan mistik) diperoleh dari intuisi yang tentunya tidak lepas dari ruh Al-Qur’an dan nada-nada Nubuwwah.

Kultur mistisisme Islam Kejawen kendati mendapat tantangan dari adanya modernitas dan globalisasi ternyata memiliki sikap tangguh yang dibuktikan eksistensinya hingga dewasa ini. Ritual-ritual -meminjam istilah Clifford Greetz- slametan yang sudah dikombinasi dengan unsur Islam sampai sekarang masih tetap eksis dalam bventuk-bentuk yang beragam seperti upacara kelahiran anak yang diisi dengan bacaan al-Barzanji, upacara mitoni dengan pembacaan surat pitu (tujuh surat dari Al-Qur’an), istighotsah, mujahadah, ratib, manaqiban dan sebagainya adalah indikasi bahwa pribumisasi Islam dalam konteks kultur lokal masih eksis. Ini bukan hanya terjadi di masyarakat Kraton dan pedesaan saja tetapi juga di masyarakat perkotaan.

Dengan demikian, baik kalangan santri, priyayi dan abangan di Jawa masih memiliki pandangan kosmologi yang sama walaupun gelombang keberagamaan puritan juga menjadi fenomena tersendiri dalam keragaman kultural Islam di Jawa dewasa ini. Di dalam Islam, terdapat ajaran universal yang mutlak dan nilai-nilai religius yang adaptif yang dapat dikompromikan dengan budaya lokal dan kondisi sosio-historis masyarakat tanpa harus kehilangan substansi keislamannya. Proses Islamisasi masyarakat yang dilakukan oleh sebagian umat Islam di Jawa tidak perlu meminggirkan pribumisasi Islam yang dilakukan sebagian muslim Jawa. Islam kejawen adalah salah satu bentuk dari proses panjang pribumisasi Islam. Keberadaan Islam Kejawen, dalam kerangka sosiologis, tidak perlu dipertentangkan karena merupakan budaya religius Jawa-Islam. Begitu juga dalam perspektif teologis, Islam Kejawen harus dihargai keberadaannya karena merupakan hasil olah rasa dan olah fikir (ijtihad) para ulama dan teolog Jawa dalam memahami dan mengaktualisasikan nilai-nilai religi dalam kultur lokal.

IAIN SURAKARTA: ORTOPEDI PENDIDIKAN TINGGI ISLAM

matin edit
Oleh: Dr. H. Abdul Matin Bin Salman, Lc., M.Ag

Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga

 

Tulisan ini berawal dari sambutan Bapak Rektor IAIN Surakarta pada acara Paparan Hasil Tracer Study oleh Lembaga Penjaminan Mutu IAIN Surakarta pada tanggal 15 Februari 2016. Dalam kesempatan tersebut Rektor menyampaikan, “IAIN Surakarta, saat ini sudah bukan saatnya kita mencetak generasi bangsa yang hanya cerdas spiritualitasnya, tetapi juga harus cerdas kapasitasnya dalam menghadapi hidup”. Ungkapan itu mengekspresikan karakteristik IAIN Surakarta agar lebih dinamis dan kreatif. Diperlukan gerak afektif dan imajinatif yang bersumber dari perpaduan antara potensi asli dengan potensi baru. Hanya saja, meskipun pada tataran ide dan gagasan kita telah terstruktur, namun tampak bahwa pada tataran praktik dan kreativitas kita hanya melewati di permukaan saja.

Masalah ini perlu dicermati secara serius, mengingat bahwa saat ini dunia pendidikan Islam sedang mengalami proses regulasi era super canggih yang disebut dengan era globalisasi. Era ini meniadakan sekat dan batas geografis suatu entitas (nilai, budaya, negara, hingga institusi yang lebih kecil) untuk berinteraksi dengan entitas yang lebih luas. Akibatnya, keberadaan suatu entitas sangat sulit -untuk tidak mengatakan mustahil- menutup diri dari dunia di luar dirinya. Globalisasi adalah tantangan bagi suatu entitas, karena dengannya nilai-nilai yang secara substantif bersifat destruktif siap menggerusnya. Sebaiknya globalisasi juga merupakan peluang, jika dimanfaatkan, maka akan memberikan fasilitas pada suatu entitas untuk memperluas pengaruhnya kepada wilayah yang tidak terbatas, sekaligus mengakomodasi nilai konstruktif dari luar dirinya. Oleh karena itu, pengembangan suatu lembaga pendidikan di era global ini harus visioner.

Tingkat kedalaman dan kecakupan visi tentu berbeda-beda sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh masing-masing. Visi dari perspektif pendidikan tinggi menyingkapkan interaksi berbagai hal yang bertentangan dan berlawanan. Karena kekayaan visi terkait kemampuan suatu lembaga dalam berkreasi. Visi sebagai sebuah kreativitas bisa saja didefinisikan menjadi yang berlawanan dan yang bersaing. Hanya saja, persyaratan “persaingan” pengembangan pendidikan tinggi di era globalisasi tidak tepat jika semua mengambil bentuk yang sama. Masing-masing perguruan tinggi memiliki struktur yang dipilih sebagai karakter yang dapat mengasumsikan dalam jenis ekisistensinya yang khas. Dengan jalan ini, maka sistem yang berlaku adalah perguruan tinggi membentuk entitasnya sendiri. Dalam perspektif ini, perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKIN) harus dapat memahami bagaimana budaya orisinalitas kajian keislaman merupakan salah satu penyangga utama pengembangan pendidikan Islam itu sendiri. Tugas PTKIN adalah melegalisasi konsep orisinalitas (ke-khas-an) dalam kreativitas, sehingga perkembangan PTKIN saat ini merupakan evolutif bagi PTKIN sebelumnya, namun masih dalam bingkai orisinalitas yang sama.

Tidak dapat dipungkiri, hingga saat ini masih banyak kalangan yang meragukan penyelenggaraan keilmuan dan pendidikan di Universitas Islam Negeri (UIN) dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Asumsi ini dilihat dari kegagalan beberapa program studinya dalam merealisasikan konsep orisinalitas keislaman dalam beradaptasi dengan tuntutan kehidupan masyarakat saat ini. Banyak PTKIN awalnya kurang percaya diri dengan model revolusi pendidikan tinggi saat ini. Apalagi, undang-undang pemerintah tentang PTKIN juga masih setengah hati menyambut baik (tidak sepenuhnya percaya) proposal pengembangan perguruan tinggi berbasis keagamaan yang diajukan untuk membentuk pusat-pusat spesifikasi Studi Islam di UIN dan IAIN. Akibatnya, reformasi Pendidikan Islam dalam kerangka pendidikan tinggi di UIN dan IAIN tidak otomatis memperkuat posisi PTKIN dalam bidang penelitian dan pengajaran dikancah persaingan internasional yang semakin tajam. Undang-undang perguruan tinggi yang sudah ada saat ini, juga belum memberikan ruang gerak lebih luas kepada perguruan tinggi Islam. Sementara itu, masing-masing perguruan tinggi tentu akan berusaha memperjelas profilnya masing-masing, karena tidak ada alasan untuk memperkokoh perguruan tinggi lain di luar bidang garapannya.

ICON Kebangkitan PTKIN

Ilustrasi yang menggambarkan problem PTKIN saat ini, dapat dilihat bahwa globalisasi nampaknya bukan ancaman karena hal itu merupakan kelaziman zaman. Karena sifatnya yang niscaya, maka ada dua hal yang mungkin untuk dilakukan, pertama membaca, menginventarisir, membuat kategori hingga memanfaatkan informasi sebanyak mungkin dari kancah dunia untuk memperkuat dirinya. Kedua, membangun, memperkuat jaringan seluas-luasnya, sehingga memungkinkan lembaga yang bersangkutan semakin dapat bekerjasama dengan pihak lain guna meningkatkan peran visi dan misinya. IAIN Surakarta yang memiliki visi (terwujudnya perguruan tinggi yang unggul dan mandiri, dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, serta pembinaan akhlak karimah), sudah waktunya untuk melakukan segala daya mentransformasi nilai-nilai keislaman dalam kehidupan yang nyata. Begitu pula, misi IAIN yang telah digagas dengan cermat perlu diaplikasikan ke dalam ide konkrit yang excellent.

IAIN Surakarta sebagai Perguruan Tinggi Keagamaan Islam harus mampu menempatkan diri pada posisi back yang kokoh dan sekaligus stricker yang mampu mencetak gol-gol spektakuler. Dengan cara ini, IAIN Surakarta akan mampu menjadi jendela keunggulan akademis kajian-kajian ke-Islam-an di Indonesia (window of academic exellence of Islamic studies in Indonesia) dan barometer perkembangan pembelajaran keislaman, penelitian, sekaligus kerja-kerja sosial yang diselenggarakan oleh umat Islam Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan. Demi memperkuat peranan tersebut, sudah waktunya bagi IAIN Surakarta berkomitmen untuk mengembangkan Perguruan Tinggi ini sebagai Perguruan Tinggi Islam Riset (Research Islamic University) dan Perguruan Tinggi Islam Kelas Sosial Keagamaan.

Perguruan Tinggi Riset dapat diartikan sebagai perguruan tinggi yang menjadikan tradisi riset sebagai basis normatif aktivitasnya. Secara operasional, perguruan tinggi riset lebih mengedepankan implementasi sistem pendidikan yang berbasis riset dengan menerapkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) secara komprehensif. Setiap aktivitas penelitian mengacu pada penerapan total quality management (TQM) yang merupakan standar basic normativitas pengembangan keilmuan di fakultas-fakultasnya dengan menerapkan standar ilmiah, penyelengaraan manajemen institusi dan mengupayakan produk-produk unggulan perguruan tinggi yang diapresiasi oleh publik, khususnya para pengguna jasa.

Sedangkan Perguruan Tinggi Islam Sosial Keagamaan, dapat diartikan bahwa pengembangan IAIN diarahkan untuk membangun jaringan advokasi sosial keagamaan yang dibangun atas dasar dan melalui jaringan kerjasama dengan Perguruan-perguruan Tinggi lain (PTKIN dan PTN), lembaga-lembaga formal (pemerintah) dan non-pemerintah serta lembaga-lembaga sosial di dalam dan di luar negeri. Jaringan kerjasama itu dirancang dalam berbagai tingkatan, baik pembelajaran dalam bentuk pertukaran mahasiswa (exchange students), penelitian dan program-program pengabdian masyarakat (sosial services). Pada saat yang bersamaan pengembangan jaringan itu diharapkan dapat memberikan manfaat berupa pengakuan publik terhadap mutu output IAIN Surakarta melalui fakultas-fakultasnya sebagai salah satu PTKIN supplier sumber daya manusia yang berkualitas.

Integrasi ilmu pengetahuan yang didasarkan pada upaya bersama dari berbagai perguruan tinggi, lembaga penelitian dan instansi politik perlu dipromosikan dan diimplementasikan di dalam dunia pendidikan Islam di IAIN Surakarta. Sistem pendidikan tinggi Islam di IAIN Surakarta secara umum telah menjalani proses pembaruan mendalam yang telah mulai menunjukkan hasilnya hingga saat ini. Meskipun demikian, harus diakui hingga saat ini -IAIN Surakarta- pun masih berusaha masuk di antara perguruan tinggi Islam tujuan studi yang paling diminati.

Ortopedi Ilmu Pengetahuan Islam

IAIN Surakarta sebagai sebuah klinik ilmu pengetahuan merupakan sebuah ortopedi pendidikan dituntut agar mampu menyediakan berbagai pilihan atau alternatif (kreatif). Oleh karena itu, agar kehadirannya tidak kosong, maka IAIN Surakarta harus merekonstruksi bangunan persoalan bersama masyarakat dan memecahkannya juga bersama-sama mereka. Kehadiran IAIN Surakarta tidak hanya dalam rangka memenuhi pola pikir saja, tetapi juga mempengaruhi pola kehidupan. Dibutuhkan sikap terbuka dari posisi keilmuan Islam dan keabsahannya. Dalam hal ini, tidak ada pemisahan antara “pengetahuan” dengan “agama”. Konsekuensinya, pengetahuan yang dipakai dalam rangka membuat peradaban, sama sekali tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah agama. Agama sebagai bahan orisinil justru bersikap sebaliknya, mendorong untuk menguasai pengetahuan. Jadi, pada tataran upaya pengembangan pendidikan Islam, ada peluang mengakomodasikan antara orisinalitas (agama) dengan pengetahuan.

Konsep orisinalitas sebagaimana yang dipaparkan di atas, menjadi sumbu awal untuk melakukan revolusi pendidikan Islam di IAIN Surakarta. Dari sisi ini, orisinalitas dalam praksis ideologis menjadi sumber utama “rakyasa” pendidikan Islam demi melegalkan kreativitasnya. Dengan demikian, IAIN Surakarta harus mampu membentuk, menggerakkan dan mengoptimalkan lembaga penjaminan mutu, lembaga bahasa, lembaga kompetensi keterampilan dan lembaga penelitian ekstra universiter yang menyediakan kondisi kerja optimal bagi ilmuwan unggul. Kondisi ini hanya dapat dicapai jika lembaga-lembaga itu didesain sebagai tempat kerja yang paling produktif dan sumber publikasi yang paling orisinil bagi para peneliti, dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa. Isu-isu kontemporer di bidang science (kimia, kedokteran, teknologi) yang ternyata terintegrasi dengan Studi Islam harus mampu diaplikasikan oleh IAIN Surakarta. Riset terapan, terutama di bidang ilmu kimia dan teknik berbasis pada Studi Islam secara integratif harus dengan sengaja dikembangkan sehingga mampu berdiri tegak di laboratorium science dan berdiri tegak juga di ruang agama (al-Qur’an dan Hadis). Sebab tanggungjawab IAIN Surakarta bertumpu pada tugas (misi) agama dan tugas sosial (umat). Kekuatan IAIN Surakarta dengan demikian tidak hanya terletak di bidang kajian turats (warisan karya-karya keagamaan klasik), tetapi juga pada ilmu-ilmu science seperti, ilmu biologi, ilmu alam dan kimia. Aksentuasi yang kuat juga harus diberikan juga pada bidang-bidang humaniora (ilmu-ilmu sosial) dan ekonomi. Dengan demikian, maka pusat-pusat lembaga dapat dijadikan sebagai kunci penting bagi inovasi dan penggerak ilmu pengetahuan Islam.

Konsep orisinalitas di atas dapat dipahami dengan sendirinya dan juga segala konsekuensinya pada tataran praksis ideologis yang dikembangkan. Dalam praksis ini ada hubungan organik antara orisinalitas (sebagai yang asal) dengan kreativitas (sebagai yang dikembangkan). Dengan demikian, maka pengembangan IAIN Surakarta setidaknya harus mencakup berbagai aspek yang mendukung pelaksanaan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta pengembangan sarana dan prasarana. Melalui sistem ini, setiap elemen IAIN Surakarta didorong agar mampu menemukan gagasan serta ide baru dalam mengantisipasi globalisasi pendidikan dengan tetap menjunjung tinggi pengabdian kepada masyarakat, bangsa, negara dan agama. Dari iklim inilah tumbuh cara-cara tertentu dalam memahami dan memberikan ide sebagai konsekuensi dari pembauran antara orisinalitas dengan kreativitas.

Sebagai dukungannya, setiap elemen IAIN Surakarta dapat menerapkan berberapa nilai sebagai landasan pengembangan dan implementasi. Diantaranya, Profesionalisme (professionalism), Kesejawatan (collegialism), Keterbukaan (kejujuran, dan keterpercayaan: honesty, and trustworthiness) serta Keberimbangan (proportionateness). Semua ini menjelaskan corak dasar revolusi IAIN Surakarta yang bergerak menuju kepada peralihan peradaban pada dua kutub sekaligus, yaitu kutub orisinalitas dan kutub kreativitas atau inovasi. Salah satu masalah utama dalam konsep ini adalah konsekuensi interaksi antar komponen yang timbul, yang dapat menimbulkan kesalahpahaman ketika proses pengakomodasian antara “agama” dengan pengetahuan, sehingga akhirnya menyebabkan terjadinya gagal transfer dari agama ke pengetahuan atau sebaliknya. Untuk itu dibutuhkan penggunaan konsep alternatif sebagai langkah antisiatif, khususnya pada IAIN yang baru saja alih status, untuk mencoba mengembangkan pola-pola ilmiah pokok sebagai penggantian konsep yang andalkan.